PEMECAH KEBUNTUAN DIMASA DEPAN

TEKNOLOGI TEPAT GUNA

TEKNOLOGI TEPAT GUNA
BERPIKIRLAH SEBELUM ANDA MENJADI BAHAN PIKIRAN

BETA Fresh

BETA Fresh
KEMASAN BOTOLAN BETA Fresh

Kamis, 03 Maret 2011

Petani Garam dalam Jeratan Kapitalisme

Petani Garam dalam Jeratan Kapitalisme:
Analisis Kasus Petani Garam di Rembang, Jawa Tengah
Yety Rochwulaningsih
Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Diponegoro, Semarang


Abstract

This article explores how capitalist economic system penetrates s alt commodity since the era of
the Netherlands-owned VOC until now. Through the practice of monopolistic capitalism, the
VOC has treated salt as a strategic commodity which has had the result of significantly
contributing government’s financial support on the one hand while at the same time has
tormented the salt farmers.Keyword: salt farmers, capitalist, commodity, producer, market.
Garam merupakan komoditi strategis sebagai bahan baku industri dan bahan pangan yang sangat dibutuhkan olehhampir semua masyarakat, tetapi dewasa ini kehidupan petani garam di berbagai daerah di Indonesia, dihadapkanpada situasi sulit. Banyak petani tidak dapat bertahan dengan pilihan usahanya, bahkan ada yang meninggalkanusahanya dan berpindah menekuni mata pencaharian lain. Problem yang dihadapi petani garam yang tampakkepermukaan, antara lain menyangkut harga, mutu garam yang sangat rendah, sampai membanjirnya garam impor. Jika dicermati dan dikaji lebih mendalam, terdapat problem yang mendasar yang dihadapi petani ga ram, yaitu beroperasinya sistem kapitalisme yang mengantarkan mereka pada kondisi yang terpuruk bahkan termarjinalkan.
Sistem itu telah menjalani sejarah panjang yang diintroduksir oleh kolonialisme sejak negara -negara Eropa tumbuh dan berkembang menjadi negara industri, hingga dewasa ini telah menjadi kekuatan global yang mempengaruhi hampir semua segi kehidupan masyarakat. Kapitalisme yang selalu melandaskan pada cita -cita profit maximalization and cost minimalization, pada banyak kasus telah terbukti memberi kontribusi signifikan terhadap ketergantungan,keterpurukan kehidupan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat berbagai bangsa, utamanya di dunia ketiga (Taylor,1989), termasuk fenomena yang terjadi pada petani garam.Terbangunnya kondisi yang marjinal atau terbelakang dalam pandangan kaum Marxian lebih disebabkan olehadanya kontradiksi dari sistem kapitalisme, yaitu perampasan surplus. Keadaan demikian, sistem kapitalis melaluiberoperasinya kapital telah men-ciptakan kemajuan ekonomi bagi sebagian kecil dan menciptakan keterbelakangan bagi sebagian besar masyarakat. Bahkan menurut Frank, perampasan surplus berkaitan dengan eksploitasi yang
kemudian berdampak pada semakin meluasnya jaringan kapitalis. Diantara dunia kapitalis dengan metropolisnasional menuju pusat-pusat regional, berlangsung perampasan surplus oleh kekuatan kapitalis melalui praktek ekonomi yang eksploitatif. Pada jaringan berikutnya sebagian besar pemilik lahan atau pedagang merampas surplusdari petani kecil atau penyewa dan seringkali kemudian juga pada para pekerja tanpa tanah (Culley, 1977).Dari kajian historis dapat diketahui, bahwa VOC-lah yang mengawali introduksi sistem ekonomi kapitalis padakomoditas garam. Pada jaman pra kolonial penguasa di pantai utara Jawa Tengah termasuk Rembang pernahmenjadikan garam sebagai komoditas ekspor ke beberapa negara dalam kawasan Asia Tenggara, tetapi kondisiberubah pada masa kolonial di mana penguasa di Jawa kehilangan kontrol atas produksi garam di pantai utara Jawadan kontrol terhadap produksi dan perdagangan garam pada akhirnya jatuh ke tangan VOC, penguasa kolonial danpengusaha yang terdiri dari orang-orang Cina (Knaap, 1991:127-157). Bahkan pada jaman kolonial, garam pengusaha yang terdiri dari orang-orang Cina (Knaap, 1991:127-157). Bahkan pada jaman kolonial, garamberkembang sebagai salah satu komoditas ekspor yang didominasi oleh penguasa dan pengusaha/pemodal. Hal ituantara lain ditandai oleh adanya kebijakan politik ekonomi garam yang tampak lebih berorientasi pada kepentinganpenguasa dan pemodal dengan mengorbankan kepentingan produsen lokal penduduk pribumi ( Departemen VanBinnenlansch Bestuur, 1932; Kuntowijoyo, 1988). Dengan adanya monopoli maupun dominasi penguasa dan pengusaha atas produksi garam, menjadikanproduksi garam dalam penetrasi sistem kapitalisme. Dalam perspektif materialisme historis, kondisi yang demikianitu melahirkan formasi sosial yang didominasi oleh sebuah artikulasi dari dua cara berproduksi (mode of production),yaitu cara kapitalis dan non kapitalis di mana cara produksi kapitalis telah menjadi dominan atas yang lain. Hal ituantara lain tampak dari berkembangnya pengusahaan garam oleh pemerintah melalui perusahaan yang telah ditunjuk
dan direkomendasikan (mendapat-kan hak sewa) di satu sisi dan terjadinya penurunan status sosial petani garampada sisi yang lain di mana mereka cenderung hanya menjadi tenaga penggarap dan upahan dalam proses produksigaram. Kondisi yang demikian itu dalam perkembangan-nya dibeberapa daerah sentra garam seperti Maduramendorong timbulnya resistensi petani garam dalam bentuk protes terbuka yang sangat marak pada perempatpertama abad XX (de Jonge, 1993: 165-184).Setelah Indonesia merdeka keadaanya tidak banyak berubah, semula garam secara formal dalam monopolipemerintah, tetapi praktek perdgangan garam masih dalam dominasi pegusaha/pedagang Cina dengan sistemkapitalisme. Para pedagang ini me-miliki kecenderungan mempermainkan harga, sehingga pada tingkat petani hargagaram sangat fluktuatif. Sebagai contoh harga garam dapat mencapai 75 sampai 80 sen/kg, tetapi pada waktu lainyang tidak berselang lama berubah menjadi 2 sampai 8 sen/kg (Widodo, 2005). Terlebih dengan dicabutnyaperaturan tentang monopoli garam oleh pemerintah RI pada tahun 1957 yang berdampak pada pembubaran PN
Garam, maka kondisi petani garam semakin dalam tekanan kuat dari pemodal (kapitalis). Meski s etelahpembubaran PN Garam pemerintah membentuk koperasi dan kemudian Perseroan Terbatas (PT) yang diberi haksebagai penyalur dan penimbun garam untuk menggantikan peran pedagang Cina, tetapi prakteknya juga tidakberhasil membantu petani terutama dalam menstabilkan harga garam.
Dengan dibubarkannya PN Garam, pemerintah RI sejak Orde Baru hingga dewasa ini cenderung hanyamengatur tata niaga garam. Dalam hal ini kebijakan yang terkait dengan tata niaga garam cenderung berpihak padakekuatan kapitalis terutama aras supra lokal dan dalam kooptasi kekuatan ekonomi global yang juga sangatkapitalistik. Paling aktual antara lain tercermin dari beberapa kebijakan yang dikeluarkan seperti UU No. 7 tahun1994 tentang Pengesahan Persetujuan Pemben-tukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establishing TheWorld Trade Organization), Keputusan Presiden RI No. 69 tahun 1994 tanggal 13 Oktober 1994, tentangPengadaan garam Beryodium, Surat Keputusan Menteri Perindustrian No. 29/M/SK/2/1995 tentang Pengesahan
Serta Penerapan Standar Nasional Indonesia dan Penggunaan tanda SNI secara wajib terhadap 10 macam produksiindustri (termasuk garam), Surat Keputusan Menteri Perindustrian No. 77/M/SK/5/1995 tanggal 4 Mei 1995 tentang Persyaratan Teknis Pengolahan, Penge-masan dan Pelabelan Garam Beryodium serta Perizinan, Surat Keputusan
Menteri Perdagangan dan Perindustrian RI No. 360/MPP/Kep/5/2004 tanggal 31 Mei 2004 tentang Ketentuan
Impor Garam.
Berdasarkan latar tersebut, maka artikel ini akan mengkaji lebih lanjut bagaimana sistem kapitalisme telahmelakukan penetrasi terhadap komoditas garam sejak jaman VOC kolonial Belanda dan berlangsung terus hinggadewasa ini. Selain itu akan diungkap juga bagaimana sistem kapitalisme itu telah menyebabkan keterpurukan danmemarjinal-kan petani garam dengan mengangkat kasus petani garam di Rembang Jawa Tengah. Dengan begituakan didapat gambaran jelas, bahwa problem petani garam tidak sekedar harga yang sering terjun bebas, melainkanterkait dengan sistem ekonomi kapitalis yang bercorak eksploitatif yang telah menjerat kehidupan mereka.
Kapitalisme Monopolistik
Kolonial Belanda
Kapitalisme menurut Weber, sebagai sistem ekonomi yang tumbuh dan berkembang karena orientasi yangmenekankan pada pengejaran keuntungan ekonomi secara rasional. Dalam pandangan Marx, orientasi kaumkapitalis dalam mengejar keuntungan itu pada dasarnya yang mendorong terjadinya penyerobotan surplus valueyang mestinya menjadi hak para pekerja yang berproduksi. Melalui penyerobotan surplus value oleh kekuatankapitalis ini terjadi akumulasi kapital yang berlanjut pada terbangunnya jaringan sistem kapitalisme yang semakinmeluas menembus batas ruang dan waktu. Kapitalisme menurut pandangan Marx adalah suatu bentuk masyarakat kelas yang distrukturkan sec ara khusus,yang di dalamnya manusia diorganisir untuk memproduksi kebutuhan hidup, tetapi diasingkan dari produk yangdihasilkan. Bahkan Dobb mengemukakan bahwa kapitalisme merupakan satu sistem ekonomi yang didasarkan
pada buruh upahan yang tidak memiliki kekuasaan atas alat produksi (Russel, 1989). Menelisik makna yangterkandung dalam konsep sistem kapitalisme itu, maka unsur kompetisi antara individu maupun kelompok kapitalismenjadi determinan dalam proses akumulasi kapital yang menjadi unsur terpenting dari sistem kapitalisme. Ironisnyakapitalisme kontem-porer justru menunjukkan beroperasinya kapitalisme yang monopolistik sebagai lawan
kompetitif.
Konsep kapitalisme yang monopolistik adalah sebuah sistem ekonomi yang terdiri dari korporasi perusahaa nraksasa yang men-dunia. Korporasi perusahaan raksasa dewasa ini dipandang sebagai mesin untuk me -maksimalkankeuntungan dan mengakumula-sikan modal minimal (Baran & Sweezy, 1970). Tampaknya perbedaan besar antarakompetitif dan kapitalisme monopoli adalah bahwa korporasi raksasa telah menempuh ruang waktu yang panjangmelalui kapi-talisme individual dan penghitungan yang lebih rasional, keduanya berkaitan dengan skala yang lebihluas dari bekerjanya kor-porasi. Kedua kunci ini menciptakan karak-teristik sikap dan model perilaku budayatertentu, yang merupakan sesuatu yang penting dari penghindaran sistemik dari resiko dan suatu sikap hidup dantantangan hidup.
VOC sebagai korporasi raksasa pada jamannya. VOC merupakan persekutuan/organisasi dagang pertama dariorang-orang Eropa (Belanda) yang wilayah operasional-nya multi-nasional. Sebagai sebuah organisasi dagang multinasional, VOC memiliki jaringan organisasi dan birokrasi demikian luas ditandai dengan pendirian kantor cabangdiberbagai tempat di dunia. Kantor-kantor cabang VOC tersebar diberbagai tempat penting dan strategis di Asia danAfrika, antara lain di Tanjung Harapan (Afrika Selatan), Calcuta (India), Jepang, Macao (Cina), Malaka (Malasyia)dan Batavia (Indonesia) (Gaastra, 1981).Di Indonesia pada awalnya belum menerapkan sistem monopoli terhadap produksi dan perdagangan garam.VOC cenderung melanjutkan sistem tradisional yang sudah lama berjalan di dalam masyarakat pribumi.Sebagaimana bang-sawan Jawa, VOC juga menuntut penye-rahan wajib (contingenten) garam dari para petanipenggarap dengan jumlah yang telah ditentukan. Di samping itu, VOC juga menyewakan kepada para pengusahakaya dengan disertai aturan-aturan yang lebih mengikat dan tegas. Aturan itu antara lain bahwa di daerah -daerahyang secara langsung berada di bawah kekuasaan VOC (het rechtstreeksch bestuur van de Compagnie) dilarang VOC cenderung melanjutkan sistem tradisional yang sudah lama berjalan di dalam masyarakat pribumi.Sebagaimana bang-sawan Jawa, VOC juga menuntut penye-rahan wajib (contingenten) garam dari para petani
penggarap dengan jumlah yang telah ditentukan. Di samping itu, VOC juga menyewakan kepada para pengusahakaya dengan disertai aturan-aturan yang lebih mengikat dan tegas. Aturan itu antara lain bahwa di daerah -daerahyang secara langsung berada di bawah kekuasaan VOC (het rechtstreeksch bestuur van de Compagnie) dilarangmembuka tambak garam baru (membuat industri garam baru) kecuali harus mendapatkan ijin VOC (Stibbe,1919:55).
Dengan peraturan tersebut, VOC dengan sendirinya mengontrol bahkan melakukan monopoli produksi danperdagangan garam di daerah-daerah yang secara langsung berada di bawah kekuasaannya. Sistem yangdikembangkan VOC itu selain memunculkan usaha-usaha pembuatan garam (pabrik dan perusahaan berbagaiskala), juga melahirkan kelas sosial baru, yaitu pachter (pemborong/penyewa). Selain itu dengan melihat volumeperdagangan garam yang dilakukan oleh VOC, tampak VOC cenderung lebih memilih untuk menerimacontingenten garam dari para petani garam daripada memborongkan kepada para pachter yang biasanya berasal dariorang Cina. Hal ini terjadi karena VOC sendiri memiliki peluang memperdagangkan garam di berbagai daerah dikepulauan Indonesia bahkan di kawasan lain di luarnya.Pada masa VOC garam yang berasal dari Rembang kebanyakan diperdagangkan di Batavia, dan selanjutnya
sebagian juga diperdagangkan di Sumatra Barat yang mendatangkan keuntungan yang sangat bagus (Stockdale,1811:41). Namun demikian sejalan dengan keterlibatan VOC dalam persoalan politik dan mi liter baik di Jawamaupun di Luar Jawa yang membu-tuhkan banyak uang cash maka menjelang akhir kebangkutannya VOCmemiliki kecenderungan untuk menyewakan tambak-tambak garam kepada pachter agar mem-peroleh uangkontan. VOC bahkan juga menyewakan tanah partekelir (beserta penduduknya), menjual pajak borongan,menyewakan monopoli opium, dan se-bagainya (Cribb, 2000:139). Dengan adanya perkembangan ini para elite pribumi yang memiliki potensi ekonomi telah kehilangan kontrol atas produksi garam di pantai utara Jawa danakhirnya kontrol terhadap produksi dan perdagangan garam jatuh ke tangan penguasa kolonial dan pengusaha yangterdiri dari orang Cina (Knaap, 1991:127-157). Sistem penyerahan wajib dan penyewaan monopoli garam yang juga diberlakukan oleh VOC di R embang iniberlangsung hingga kebangkrutannya pada tahun 1799. Bahkan pada periode berikutnya sistem ini tetap berjalanhingga Jawa berada di bawah penjajahan Inggris yang berlangsung tahun 1811 - 1816. Sesuai dengan sifat peme-rintahan Inggris yang lebih dijiwai oleh se-mangat liberalisme, Gubernur Jenderal Thomas Stamfort Raffles melihatbahwa monopoli garam yang disewakan kepada para pachter ini sangat merugikan penduduk pribumi dan
sebaliknya memberikan keuntungan yang sangat besar kepada para pachter. Hal ini terjadi karena para pachtermerasa sudah memborong produksi garam itu kepada VOC sehingga mereka melakukan eksploitasi dan mencarikeuntungan sebesar-besarnya tanpa banyak campur tangan lagi dari penguasa Belanda. Dalam hubungan inilahmaka pada tanggal 15 Oktober 1813 Raffles mengeluarkan peraturan yang menghapuskan baik sistem contingentenmaupun sistem penyewaan produksi dan perdagangan garam yang dilakukan oleh para pachter. Sebagai gantinyaRaflles me-nempatkan industri garam sebagai peru-sahaan negara yang dipimpin super inten-dent. Perusahaan
negara ini akan menerap-kan sistem free labor (vrije arbeid) produksi garam. Demikian juga perdagangan dandistribusi garam dikelola perusahaan negara.Pertama-tama, Raffles menerapkan peraturan ini untuk daerah Jawa dan Madura serta Lampung. Jawa danMadura yang pada masa VOC dan pemerintah kolonial Belanda diperlakukan sebagai daerah monopoli
(monopoligebied) dibagi menjadi tiga wilayah yang masing-masing dipimpin oleh seorang agen. Jadi tempat-tempatpembuatan garam berada di bawah kontrol agen-agen tersebut sesuai dengan pembagian daerah tugasnya. Namun
demikian karena pemerintah interregnum Inggris hanya berlangsung sangat pendek, maka peraturan ini belumberjalan sepenuhnya ketika Ingris sudah harus meninggalkan pulau Jawa.Namun demikian kebijakan Raffles ini telah membuat para pachter garam mengalami kerugian besar (Stibbe,1919:55). Satu hal yang menarik adalah bahwa meskipun kekuasaan atas pulau Jawa sudah dikembalikan oleh
Inggris kepada Belanda pada tahun 1816, namun pemerintah kolonial Belanda tetap memanfaatkan kebijakanpenghapusan sistempachter itu sebagai alat untuk menegakkan kekuasaan pemerintah atas industri dan perdagangan
garam di Jawa. Hal itu dilakukan karena pemerintah kolonial membutuhkan uang lebih besar dari sektorpengusahaan garam. Oleh karena itu peraturan yang dibuat oleh Inggris untuk sementara waktu tetap dilanjutkan.Bahkan ada kecenderungan pemerintah kolonial Belanda justru memperkuat posisi peme -rintah dalam penguasaanindustri dan perdagangan garam mengingat komoditi ini dapat memberikan pemasukan keuangan yang besarkepada pemerintah.
Pada tahun 1818 misalnya, kontrol terhadap produksi dan perdagangan garam di daerah -daerah dikuasakankepada para residen. Namun demikian upaya ini tidak membuahkan hasil sebab banyak kepenting-an pejabat local yang menyebabkan pemasukan pemerintah menjadi berkurang. Oleh sebab itu sistem yang telah diletakkan oleh
Raffles kambali menjadi acuan dengan menyerahkan pengelolaan produksi dan distribusi garam kepada direksi dandewan keuangan sebagaimana sebuah perusahaan modern (Gent, Penard & Rinkes, 1923:408 -410). Namundemikian seiring dengan silih bergantinya sistem eksploitasi kolonial yang diterapkan oleh pemerintah kolonialBelanda peraturan-peraturan monopoli juga mengalami periode trial and error sesuai dengan kebijakan gubernurjenderal yang sedang memerintah (Dick, 2002). Komisaris Jenderal Du Bus De Gesignes misalnya, pada tahun 1829kembali berusaha menyewakan pengelolaan garam kepada pihak swasta untuk menutup kas keuangan Belandayang mengalami defisit sebagai akibat dari Perang Diponegoro yang berlangsung tahun 1825 -1830 (Stibbe,1919:55).
Baru pada tanggal 25 Februari 1882 pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Bepalingen tot Verzekering vanhet Zoutmonopolie sebagai peraturan yang secara tegas mengatur mengenai monopoli produksi dan distribusi garamdi Hindia Belanda/Indonesia (Indische Staatsblad No. 73, 1883). Aturan ini kemudian disempur -nakan pada tahun1921 (Staatsblad N0. 454), 1923 (Staatsblad No. 20), 1930 (Staatsblad No. 119), dan tahun 1931 (Staatsblad No. 168
dan 191). Aturan yang paling mendasar dari peraturan-peraturan ini adalah bahwa pembuatan garam, kecuali denganijin pemerintah atau milik pemerintah itu sendiri, dilarang di Jawa dan madura, di residensi Pantai Barat Sumatra,Tapanuli, Bengkulu, Lampung, Palembang, Pantai Timur Sumatra, Bangka dan sekitarnya, Afdeling Borneo Barat,Afdeling Borneo Selatan dan Timur, dan Asistensi Residen Bilitung. Sementara itu produksi garam di Kuwu
(Grobogan) tidak dikenakan aturan ini namun para produsen harus membayar pajak sebesar 50 cent per pikul (1 pikul = 61,76 kg). Demikian juga kegiatan impor garam ke wilayah-wilayah yang disebutkan di atas juga dilarang,kecuali jika hal itu dilakukan oleh pemerintah.Aturan yang sama juga berlaku untuk perdagangan garam antar wilayah yang disebutkan itu. Di samping itu
hanya pelabuhan-pelabuhan tertentu saja yang dapat digunakan sebagai pintu masuk atau keluar komoditi garam, diJawa misalnya: pelabuhan Batavia, Cirebon, Tegal, Pe-kalongan, Semarang, Surabaya, dan Cilacap (Staatsblad1905, No. 307). Dalam peraturan ini, badan pemerintah yang diberi wewenang untuk mengendalikan monopoligaram bukan lagi pejabat daerah (residen) namun seorang Kepala Dinas Monopoli Garam (Hoofd van den Dienstder Zoutregie) yang posisinya ditempatkan di bawah Direktur dari Departemen Perusahaan Negara (Departementvan Gouvernements-bedrijven). Struktur manajemen ini berlaku sejak tahun 1915.
Berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda di atas memberikan gambaran yang jelasbahwa pemerintah mengontrol dan memonopoli dengan ketat produksi dan distribusi serta lalu -lintas garam yangberedar di wilayah yang dikuasainya. Bahkan petugas monopoli garam diberi kuasa untuk menggeledah rumah yangdicurigai menjadi tempat penyimpanan garam illegal dan pelanggaran terhadap peraturan itu akan mendapatkan
sangsi kurungan dan/atau didenda (Depar-tement van Binenlandsch Bestuur, 1932:43). Untuk menjaga agar tidakterjadi manipulasi timbangan maka sejak tahun 1897 juga diupayakan untuk membuat garam briket (garam bata).Selain itu juga dibedakan antara garam yang digunakan untuk konsumsi dengan garam yang digunakan untuk bahanindustri seperti untuk pengeringan pengawetan ikan. Garam untuk konsumsi berharga sekitar f 0,12/kg, sedangkanharga garam untuk industri adalah f 0,03/kg (Stibbe, 1919:866).Di satu sisi, monopoli negara ini mungkin dimaksudkan untuk melindungi penduduk pribumi dari berbag aipraktek manipulasi dan eksploitasi yang dilakukan oleh para pemodal swasta yang selama jaman VOC memperolehkeuntungan yang sangat besar dengan cara merugikan para konsumen tetapi di pihak lain kebijakan ini juga menjadisuatu penghalang bagi kaum pribumi yang ingin mngembangkan usaha di bidang pengusaha-an dan perdagangan
garam ini. Memang penduduk pribumi diijinkan untuk membuka usaha pembuatan garam namun harusmendapatkan ijin yang ketat dari pemerintah. Lagi pula para pembuat garam sudah diberi kuot a produksi yang dapatmereka capai sehingga pendapatan mereka menjadi sangat terbatas. Selain itu pemerintah sudah menetapkan hargajual dan beli di berbagai wilayah di Hindia Belanda sehingga kebijakan ini kurang menarik dari segi usaha/bisnis daripihak nonpemerintah. Setiap produksi garam tidak boleh dijual bebas di pasaran, tetapi harus dijual ke gudang -gudang pemerintah yang dikepalai oleh seorang pakhuismeester.Para pemodal Cina memang masih dapat membuka usaha pembuatan garam atas ijin pemerintah, namun tetap saja mereka tidak memiliki kebebasan sebagaimana sebelum tahun 1870 -an. Dengan cara demikian pemerintah
kolonial Belanda melakukan penetrasi sistem kapitalisme monopolistik yang sangat ketat terhadap komiditas garam.Sebagai hasilnya pendapatan dari sektor industri dan perdagangan garam di Indonesia pada waktu itu memberikontribusi signifikan terhadap keuangan pemerintah kolonial Belanda. Contohnya pada tahun 1902 pendapatanpemerintah dari monopoli garam mencapai f 9.456.466, tahun 1913 meningkat menjadi f 12.633.988,21 dan tahun1922 meningkat lagi menjadi f 17.221.346,50 (Koloniaal Verslag, 1904:284; Koloniaal Verslag, 1915:264;Koloniaal Verslag, 1923:231). Hal itu belum termasuk monopoli garam di Bagan Si Api Api yang diperlakukan
secara istimewa. Pada tahun 1905 misalnya, pemerintah kolonial Belanda mendapatkan pemasukan sekitar f 325.000dari industri garam dan industri lain yang terkait (Butcher, 1994:100). Meskipun tangan pemerintah begitu kuatmenceng-keram industri dan perdagangan garam, namun apa yang disebut sebagai garam rakyat (bevolkingszout)juga tetap eksis. Sebagai contoh pada tahun 1938, produksi garam rakyat yang dijual di gudang garam Semarangmencapai 2.882.000 kg dengan nilai mencapai f 158.800. Produksi ini me -libatkan 6 sentra pengusahaan garam
dengan tenaga berjumlah 1.563 orang (Indisch Verslag, 1939:298).Setelah Indonesia merdeka, produk garam tidak lagi menjadi komoditas strategis sumber pendapatan negara dan
oleh karenanya pemerintah tidak lagi melakukan monopoli yang begitu ketat sebagaimana halnya pada masakolonial. Bahkan pemerintah RI kemudian mengambil keputusan untuk melepaskan monopoli dengan caramembubarkan PN Garam, karena setelah dievaluasi tidak dapat menghasilkan devisa justru membebani keuangannegara. Berdasarkan investigasi pada dasarnya persoalan yang dihadapi PN Garam sangat kompleks baik yangberkaitan dengan kelembagaan, organisasi dan teknologi (Sanders,1968). Selama produksi garam dalam mono-poli PN Garam tampaknya lebih menekankan pada pelaksanaan misi bagi
terjaminnya pemerataan distribusi garam secara nasional dan kurang menempatkan garam sebagai komoditasperdagangan yang terintegrasi dalam sektor industri lainnya. Sebagai salah satu dampaknya adalah komoditas garamtidak memiliki organisasi dan birokrasi modern yang memberi akses memadai pada petani garam sebagai produsen
langsung untuk dapat menikmati surplus dari produknya.Dengan demikian dari fakta historis dapat diketahui, bahwa garam sejak jaman pra kolonial merupakan
komoditas yang penting dan menjadi bahan perebutan oleh berbagai kekuatan politik dan pemodal. Hal ini menjadisemakin jelas pada masa pemerintah kolonial Belanda. Pemerintah kolonial Belanda melihat bahwa garam bukan
hanya suatu produk yang menguasai hajt hidup orang banyak yang oleh karena itu harus di monopoli, tetapi jugamenjadi komoditi strategis yang mamu memberi kontribusi signifikan pada keuangan negara. Selain itu, garam jugamerupakan bahan strategis untuk meningkatkan ekspor ikan kering yang men-datangkan banyak devisa (Masyhuri,1991:145-146). Kondisi yang sangat kontradiktif justru terjadi dalam periode pemerintahan negara RI, ketikakomoditas garam dalam monopoli PN Garam tidak lagi dapat mendatangkan keuntungan pada negara bahkan
cenderung menjadi beban, produksi garam di lepas tanpa monopoli dan proteksi yang ditandai dengan dibubarkanPN Garam. Kecenderungan aktual adalah garam tidak lagi menjadi komoditi ekspor yang pantas diperhitungkanoleh pemerintah Indonesia dan oleh karena itu garam impor membanjir dan menggilas garam lokal produk petanikita.
Kasus Petani Garam di Rembang
Di kabupaten Rembang jumlah petani garam pemilik lahan pada tahun 1990 sebanyak 784 orang, tahun 2000menurun menjadi 729 orang dan pada tahun 2005 menjadi 718 orang. Peni ngkatan terjadi pada jumlah petanipenggarap/buruh garap di mana pada tahun 2000 terdapat sebanyak 3.986 orang dan pada tahun 2005 menjadi 4.739
orang. Adapun jumlah perusahaan garam rakyat di kabupaten Rembang juga cenderung menurun, pada tahun 1990erdapat 12 perusahaan, pada tahun 2000 berkurang menjadi 6 perusahaan dan tahun 2005 berkurang lagi tinggal 4 perusahaan (Rembang Dalam Angka 1990, 2000 dan 2005). Padahal luas lahan garam relatif tidak berubah, yaitu1.189,449 ha pada tahun 1990 (Jawa TengahDalam Angka, 1991), 1.184,965 ha pada tahun 2000 dan 1.184,965 ha
pada tahun 2005 (Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Rembang, 2005).Fenomena itu pada satu sisi menunjukkan bahwa posisi dan status sosial ekonomi petani garam semakintermarjinalkan dan pada sisi yang lain juga dapat dimaknai telah terjadi polarisasi dalam penguasaan lahan garam
dan dominasi moda produksi kapitalis. Modal produksi kapitalis dalam pemikiran Marx (Morrison, 1995) lebih
didasarkan pada pemilikan individual (private ownership) masing-masing orang terhadap alat-alat produksi dandalam hal ini kapitalis sebagai pemilik alat produksi dan buruh proletar memiliki kepentingan yang bertentangan.Dari hal ini terjadi proses pemiskinan kaum buruh oleh kaum kapitalis melalui a liran dan akumulasi surplus yangpada hakekatnya merupakan bentuk eksploitasi terhadap kaum buruh dalam proses produksi. Pemikiran Marx itudikembang-kan Russel (1989), bahwa moda produksi kapitalis mempunyai ciri padat modal dan merupakan tipe
kelas berstruktur majikan-buruh pada hubungan produksinya.Dalam proses produksi garam, lahan merupakan alat produksi yang sangat penting bagi petani garam karenadiatas lahan itulah kegiatan produksi mereka lakukan. Oleh karena itu struktur penguasaan lahan garam a kanmenentukan accessibity petani garam pada surplus atas praduksinya. Artinya, petani garam lahan sempit dan yang
tidak menguasai lahan garam, aksesnya rendah bahkan tidak memiliki akses pada surplus dari produksinya dan
sebaliknya petani yang menguasai lahan luas memiliki akses untuk dapat menikmati surplus dari produksi garamDalam hal ini struktur penguasaan lahan juga berpengaruh pada moda produksi yang berkembang, yaitu modaproduksi kapitalis pada petani lahan luas dan moda produksi non kapitalis/us aha keluarga (household farm) pada
petani kecil dan petani penggarap. Model produksi non kapitalis dalam proses produksi garam di kabupatenRembang secara empiris dicirikan oleh adanya hubungan produksi subsisten yang terbatas dalam lingkup keluarga(orang tua, anak, menantu, sepupu) dengan dasar hanya untuk dapat survival, tidak terekspresi adanya perhitunganuntung-rugi (cost-benefit calculation). Hal ini jelas sangat berbeda dengan moda produksi kapitalis yang dicirikan
oleh hubungan produksi komersial yang berorientasi pada keuntungan (profit). Selain itu kedua moda produksi tersebut dalam banyak kasus memiliki keterkaitan integratif yang bersifat asimetris, yaitu moda produksi kapitalismendominasi moda produksi non kapitalis dan surplus dari beroperas inya moda produksi non kapitalis diserap kedalam moda produksi kapitalis melalui mekanisme pasar (market mechanism) dan sistem bagi hasil yangdikembangkan.
Dari hal ini secara sosial ekonomi petani garam yang menguasai lahan terlebih lahan luas relatif lebih maju/kaya
dibandingkan dengan petani lahan sempit apalagi petani penggarap/buruh pada umumnya lebih terbelakang/miskin.Sebagai indikatornya tercermin dari beberapa hal antara lain: pola kerja/usaha, pendapatan/hasil yang diperoleh, relasi
sosial yang dikembangkan, kondisi perumahan, jenis dan pola konsumsi makanan, pendidikan. Dengan demikianpolarisasi penguasaan lahan garam oleh kapitalis secara signifikan ikut memberi kontribusi bagi marjinalisasi petanigaram terutama petani kecil dan petani penggarap/buruh. Hal ini mengingat petani garam di kabupaten Rembangsebagian besar merupakan petani penggarap baik dari pemilik lahan sempit (< 0,5 ha) maupun buruh garap, hanyasebagian kecil petani garam yang memiliki lahan luas (> 5 ha) yang pada umumnya juga bergerak di jalur pemasaran
garam sebagai tengkulak/bakul dan pabrikan (pabrik garam rakyat).
Selain itu dominasi kekuatan ekonomi kapitalis atas produksi garam juga ditunjukkan melalui penguasaanmereka terhadap gudang-gudang garam yang merupakan titik pengumpul (collecting point), yaitu tempatpengumpulan garam di tepi/pinggir jalan raya yang dapat dijangkau truk dan sejenisnya milik kaum kapitalis yangmenguasai jalur pemasaran garam, bukan milik petani kecil dan penggarap.
Masyarakat Rembang menempatkan garam sebagai komoditas perdagangan yang cukup menarik, maka padamusim panen banyak kelompok sosial di luar petani garam (seperti guru, pegawai pemerintah maupun pegawaiswasta dan pemodal) ikut bermain baik sebagai penyetok, tengkulak maupun mak elar. Demikian juga dengan
kekuatan ekonomi kapitalis baik pada aras lokal maupun supra lokal, biasa memainkan komoditas garam di manamereka itu semuanya bergerak di julur pemasaran garam. Bermainnya kelompok -kelompok sosial lain dariberbagai aras pada jalur pemasaran garam ini, di satu sisi dapat menjadi indikator bahwa garam merupakan
komoditas yang dapat memberi keuntungan signifikan, tetapi pada sisi lain menjadikan petani garam terutama petani
petani kecil dan petani penggarap/buruh semakin tidak memiliki akses ke pasar. Dalam konteks ini tampak bahwakelompok-kelompok di luar komunitas petani garam yang bertindak sebagai pelaku ekonomi di jalur pemasarangaram, justru cenderung yang menikmati surplus value bukannya petani produsen.Dengan demikian petani garam sebagai produsen garam krosok dalam konteks perdagangan garam posisinyatermarjinal-kan karena adanya penutupan akses ke pasar oleh pelaku ekonomi di jalur pemasaran. Petani (lahan sempit dan penggarap) hanya diposisikan sebagai produsen. Kondisi itu diperkuat lagi dengan adanya eksploitasi
yang terwujud dalam bentuk relasi usaha antara petani penggarap/buruh dengan petani pemilik dan antara petanikecil dengan pelaku usaha lain di jalur pemasaran dan permodalan serta dengan pabrikan sebagai p rodusen jadi.Dalam mata rantai usaha garam itu penggarap/buruh adalah pihak yang paling kecil mendapatkan keuntungan
dan paling rentan dibandingkan dengan lainnya, baru berikutnya petani kecil dan petani besar. Petani
penggarap/buruh sangat tergantung dan ditentukan secara sepihak oleh pemilik, mereka hanya memiliki hak untukmemproduksi garam dengan kewajiban menyerahkan sepenuhnya hak penjualan pada pemilik dan pemiliklah yang
menentu-kan harga. Adapun petani hanya dapat men-jual pada pedagang yang telah dikenal yang bergerak di jalurpemasaran dan permodalan dan mereka ini yang cenderung memper -mainkan harga. Pada dasarnya kondisi yangdemikian sudah dapat dikategorikan sebagai eksploitasi, karena adanya unsur kesengajaan penutupan akses olehpihak tertentu pada pihak lain untuk tidak mendapatkan keuntungan dari sumber daya yang ada.
Sebagaimana pada tingkat global, kekuatan ekonomi kapitalis memiliki kecenderungan untuk dengan sengajamenutup akses pelaku ekonomi lokal dan nasional dapat menembus pasa r global, agar supaya mereka tetap dapatmenguasai dan mendominasi pasar global.
Kesimpulan
Dari kajian historis dan empirik dapat diketahui, bahwa secara struktural sistem ekonomi kapitalisme telah menjeratkehidupan petani garam dan itu telah berlangsung sejak jaman VOC kolonial Belanda hingga dewasa ini. Dalam halini produksi garam dijadikan komoditas yang dipasarkan dengan tujuan mencari keuntungan. Kekuatan produksi dibentuk dalam kaitan bukan untuk menggali nilai utilitas atau nilai guna ( use–value), tetapi
untuk mencari nilai lebih (profit) dari nilai tukar (exchange value). VOC sebagai korporasi raksasa pada jamannyamengintroduksi dan melakukan penetrasi sistem kapitalisme pada komoditas garam di Indonesia melalui monopoli
baik dalam holding maupun trading, petani hanya diposisikan sebagai produsen yang ditutup aksesnya pada pasar.Bahkan ketika kekuasaan politik berada di tangan peme-rintah kolonial Belanda, dilakukan regulasi kebijakan yangmenempatkan garam (produksi, distribusi dan pemasaran) dalam monopoli ketat pemerintah untuk menjadi sumberpendapat yang penting.Pada kasus aktual petani garam di Rembang juga tampak adanya penetrasi sistem ekonomi kapitalis yangtercermin dari dominasi moda produksi kapitalis terhadap moda produksi non kapitalis. Moda produksi non kapitaliscenderung terekspresi pada proses produksi garam yang dilakukan oleh petani garam dalam kategori petani kecil,petani penggarap dan buruh di mana mereka memproduksi garam dalam skala kecil dengan teknologi dan keahlian
tradisional yang berorientasi untuk survival serta bercorak household farm.Dalam kondisi yang demikian hubungan produksi yang terbangun lebih bercorak komunal dan egaliter, tidak adakompetisi dan eksploitasi. Adapun moda produksi kapitalis terekspresi dalam proses produksi yang dikendalikan
oleh pabrikan, agen, pedagang/tengkulak dan petani besar (lahan luas) di mana mereka memproduksi garam dalamskala besar dengan teknologi dan keahlian modern serta didasarkan pada cost-benefit calculation.Dengan demikian
hubungan produksi yang terbangun berstruktur buruh-majikan, sudah ada kompetisi dan eksploitasi.
Daftar PustakaAnonim,Djawa Tengah dalam Angka (Semarang: Kantor Sensus dan Statistik Djawa Tengah, 1991).Anonim,Rembang dalamAngka (Rembang: Badan Pusat Statistik Kabupaten Rembang, Cetakan, 2000).Anonim, Data-data Industri Garam di Kabupaten Rembang (Rembang: Dinas Perindustrian dan PerdaganganKabupaten Rembang, 2005).Anonim,”Statistisch Jaar Over Zicht van Nederlandsch Indie Over Het Jaar 19 38,” dalam Indisch Verslag (S-
Gravenhage: Landsdrukkerij, 1939).Anonim, “Teks van het Verslag van Bestuur en Staat van Nederlandsch Indie Over Het Jaar 1936” dalam Indisch Verslag (S-Gravenhage: Landsdrukkerij, 1937).
Baran, P & Sweezy, P.,Monopoly Capital (Harmondsworth: Pelican, 1970).
Butcher , John G., The Salt Farm and the Fishing Industry of Bagan Si Api Api (Paper, 1994).
Culley, Lorraine, “Economic Development In Neo-Marxist Theory,” dalam Sociological Theories of the Economy
(London: The Macmillan Press Ltd, 1977).
Cribb, Robert,Historical Atlas of Indonesia (Honolulu: University of Hawai’I Press, 2000).de Jonge, Huub, “Monopolization and Resistance: State and Salt Producers in Madura” dalam Le sel de la vie en Asie
du Sud-Est (Bangkok: Prince of Songkla University, 1993).Departemen Van Binnenlansch Bestuur, Het Zoutmonopolie. Handleiding Ten Dienste Van De Inlandsche Bestuur -
sambtenaren (Batavia-Centrum: Volkslectuur, 1932).Dick, H.W., The Emergence of A National Economy: An Economic History of Indonesia, 1800-1200 (Leiden:KITLV Press, 2002).
Gaastra, F.S, “The Shifting Balance Of Trade Of The Dutch East India Company,” dalam Companies And Trade :Essays On Overseas Trading Companies During The Ancien Regime (Leiden: Leiden University Press, 1981).
Gent, L.F. Penard, W.A. Rinkes, D.A., Gedenkboek voor Nederlandsch-Indiƫ Tergelegenheid van het Regerings
Jubileum van H.M. De Koningin 1898-1923 (Leiden: G. Kolff, 1923).Gunter Frank, Andre, Capitalism And Underdevelopment In Latin America (New York: MRM, 1967).
Knaap, Gerrit J., “A Forgotten Trade Salt in Southeast Asia 1670 -1813,” dalam Emporia, Commodities AndEntrepreneurs In Asian Maritime Trade, C. 1400-1750 (Wiesbaden: Steiner, 1991).
Kuntowijoyo, “Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris: Madura 1850-1940,” Disertasi (Yogyakarta: Fakultas
Sastra Universitas Gajah Mada, 1988).
Masyhuri, “Pasang Surut Usaha Perikanan Laut: Tinjauan Sosial Ekonomi Kenelayanan di Jawa dan Madura 1830 -
1940,”Disertasi (Amsterdam: Vrije University, 1991).
Morrison, Ken, Marx, Durkheim, Weber: Formation Of Modern Social Thought (New Delhi: Sage Publications,
1995).
Russel, James W.,Modes of Production in World History (London and New York: Routledge, 1989).
Sanders, Martin, Report On The Government Owned Salt Industry In Indonesia (Jakarta: Koleksi KITLV, 1968).
Stibbe, D.G. (ed.), Encyclopaedie van Nederlandsch-IndiĆ«, Tweede Druk (Leiden-‘sGravenhage: Martinus Nijhoff,1919).
Stockdale, John Joseph, Island of Java (London, 1811).
Taylor, John G., From Modernization To Modes Of Production. A Critique of the Sociologies of Development and
Underdevelopment (London: The Macmillan Press Ltd, 1989).
Widodo, Sutejo Kuwat, Ikan Layang Terbang Menjulang. Perkembangan Pelabuhan Pekalongan Menjadi
Pelabuhan Perikanan 1900-1990 (Semarang: Badan Penerbit Undip, 2005).

ALAISA USAHA BUSIDAYA USAHA IKAN KERAPU DI KUPANG


OLEH
TIM PENELITI
LEMBAGA PENELITIAN UNDANA








KERJASAMA

DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN
KABUPATEN KUPANG

DENGAN

LEMBAGA PENELITIAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA KUPANG

BAB I
PENDAHULUAN


1.1. LATAR BELAKANG
Berbagai strategi, kebijakan dan program-program pembangunan di Kabupaten Kupang yang tertuang dalam Rencana Stratejik (Renstra) secara nyata dirancang dengan mempertimbangkan jumlah, kualitas dan sebaran potensi sumberdaya yang dimiliki. Situasi ini semakin penting pada era otonomi
daerah, di mana pada sisi memberikan peluang dan keleluasaan yang cukup besar bagi daerah dalam merancang pelaksanaan pembangunan daerah/ wilayahnya. Akan tetapi pada sisi yang lain merupakan tantangan tersendiri, sebagai akibat daerah harus mampu menumbuh kembangkan kreativitasnya
terutama berupa upaya-upaya nyata dalam mempercepat kemajuan pembangunan daerah/wilayahnya.
Dalam bidang ekonomi, saat ini kegiatan investasi swasta baik PMDN maupun PMA di Kabupaten Kupang masih sangat terbatas. Sampai dengan akhir bulan Mei 2005 jumlah perusahaan yang mendapatkan Surat Persetujuan (SP) Penanaman Modal sebanyak 15 perusahaan PMDN namun yang aktif berproduksi hanya 2 (dua) perusahaan dengan realisasi investasi sebesar Rp. 1,722,985,293,245 dari rencana investasi sebesar Rp. 3,227,943,380,000. Sedang untuk PMA sebanyak 8 perusahaan yang mendapatkan SP namun hanya 1 (satu) perusahaan yang aktif berproduksi dengan realisasi investasi
sebesar US $ 8,155,400. Jumlah tenaga kerja yang terserap untuk PMA dan PMDN pada kegiatan investasi di atas, masing-masing sebanyak 489 orang dan 324 orang. Pada hal kegiatan investasi merupakan salah satu kegiatan yang dapt dengan cepat mendorong pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Rendah dan terbatasnya kegiatan investasi di daerah ini, diduga karena
kurang/terbatasnya promosi atas berbagai potensi dan peluang investasi terutama sector dan komoditas-komoditas yang unggul di daerah ini, di samping iklim usaha dan berbagai kebijakan yang ada belum kondusif yang mampu mendorong untuk tumbuh dan berkembangnya berbagai kegiatan investasi di daerah ini. Untuk mengatasi fenomena di atas, diperlukan adanya kegiatan investasi
di wilayah Kabupaten Kupang ebagai bentuk substitusi impor atau peningkatan ekspor, sekaligus memperbesar peluang manfaat untuk berkembangnya berbagai kegiatan produksi di wilayah ini. Bagi Kabupaten Kupang, kebijakan dan peluang investasi sangat diharapkan kepada sektor primer dengan
pertimbangan bahwa sebaran dan penyerapan tenaga kerja di sector ini lebih bersifat misal serta didukung oleh potensi sumberdaya yang ada. Di samping itu, keterlibatan masyarakat di Kabupaten Kupang pada sector primer masih lebih tinggi dibandingkan dengan sector industri dan jasa lainnya.
Subsektor perikanan adalah salah satu subsektor andalan bagi Kabupaten Kupang karena kabupaten ini mencakup cukup banyak pulau yaitu sebanyak 27 buah pulau (lima di antaranya telah berpenghuni) dengan luas wilayah laut ± 47,780 km2 di luar Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Dengan wilayah perairan yang begitu luas itu, terkandung pula sumberdaya ikan dan hasil laut lainnya yang besar, potensial dan prospektif. Namun hingga kini, pemanfaatan sumberdaya ini baru sebagian kecil.
Pemanfaatan perairan laut dan pantai serta sumberdayanya untuk kegiatan budidaya ikan telah lama berkembang dan terus ditingkatkan. Salah satu pemanfaatan perairan laut pantai yang menjanjikan prospek yang bagus adalah budidaya ikan kerapu. Wilayah kabupaten Kupang dengan luas wilayah
perairan laut ± 47,780 km2 di luar Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), sangat potensial untuk kegiatan budidaya ikan kerapu ini.-
1.2. MAKSUD DAN TUJUAN.
Maksud dan tujuan dari kegiatan pengkajian komoditas unggulan dan peluang usaha ini, adalah untuk menyediakan informasi awal bagi investor/calon tentang peluang usaha dan profil investasi omoditas/produk unggulan daerah Kabupaten Kupang khususnya dalam bidang/kegiatan budidaya ikan kerapu sebagai suatu peluang investasi yang sangat fisibel yang dapat mendorong peningkatan ekonomi wilayah dan masyarakat Kabupaten Kupang.-

1.2. KEGUNAAN
Adapun kegunaan daripada pengkajian peluang peluang dan penusunan profil investasi budidaya ikab kerapu ini bagi pemerintah daerah adalah sebagai media promosi untuk menarik minat para calon dan/atau investor dalam rangka peningkatan devisa dan pendapatan daerah. Sedang bagi masyarakat terutama masyarakat nelayan, adanya kegiatan investasi ini dapat menyerap tenaga kerja yang ada, di samping meningkatkan produksi/hasil budidaya dan pendapatan.-

1.4. LINGKUP KEGIATAN
Ruang lingkup kegiatan pengkajian ini, meliputi antara lain :
1. Potensi bahan baku/Sumberdaya
2. Lokasi
3. Sarana dan prasarana pendukung investasi
4. Analisis produksi
5. Analisis ekonomi
6. Aspek pemasaran
7. Aspek lingkungan
8. Aspek Legalitas.

1.5. PENDEKATAN DAN METODOLOGI
1.5.1. Pendekatan Umum
Pendekatan umum yang digunakan untuk mencapai tujuan dari kegiatan pengkajian ini adalah melalui pengumpulan data sekunder dan primer. Data sekunder bersumber dari berbagai hasil-hasil penelitian sebelumnya dan atau laporan-laporan institusional budidaya ikan kerapu pada sejumlah sektor produksi yang ada. Sektor produksi yang dimaksud, tidak saja pada kelompok sektor primer akan tetapi juga mencakup kelompok sektor sekunder dan tersier. Jenis data sekunder yang dibutuhkan untuk keperluan penyusunan profil investasi ini antara lain menyangkut potensi produksi, potensi kebutuhan pasar
baik lokal/domestik maupun pasar ekspor, potensi ketersediaan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia, harga produk untuk pasar lokal/domestik dan ekspor. Data primer berumber dari pelaku usaha yang telah ada baik di tingkat masyarakat maupun perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam
memproduksi dan perdagangan ikan kerapu.

1.5.2. Metoda Survei dan Teknik Sampling
Metoda survei yang diterapkan adalah dengan teknik wawancara dan observasi atau supervisi langsung pada lokasi pembudidayaan ikan kerapu. Pengarahan wawancara serta ketepatan pengumpulan data yang dibutuhkan, berpedoman pada daftar pertanyaan terstruktur. Teknik penetapan sampling lokasi/wilayah dilakukan secara purposive didasarkan pada potensi dan daya dukung pengembangan komoditi tersebut.

1.5.3. Teknik Analisis Data
Sesuai dengan maksud dan tujuan dari kegiatan ini, maka digunakan pendekatan analisis keunggulan dan dilanjutkan dengan analisis kelayakan pengembangan melalui perhitungan Net Present Value (NPV); Net B/C Ratio, Internal Rate of Return (IRR); Rate of Return On Investment (ROI); Payback
Period (PBP); dan Break Even Point (BEP). Secara matematis, formulasi perhitungan untuk masing-masing kriteria di atas, adalah sebagai berikut :


NPV = n
E Bt –Ct
___________
(l + i) t
(m)


()∑ = +−=nttt tiC BNPV0 1

di mana : NPV = nilai Net Present Value; B = Benefit pada tahun ke- t; C =
Biaya pada tahun ke-t; t = lamanya waktu/umur investasi; i=Tingkat bunga yang
berlaku.
() 1 2 1 i i
NPV NPV
NPV
i IRR −

+ = − +
+


di mana : IRR = Nilai Internal Rate of Return; i1 = Faktor discount (tingkat
bunga) pertama di mana diperoleh NPV positip; i2 = Faktor discount (tingkat
bunga) pertama di mana diperoleh NPV negatif.


=
=
= n
t
n
t
Negatip NPV
Positip NPV
Ratio C B Net
0
0
/

Suatu usaha/investasi dikatakan layak dan menguntungkan untuk dikembangkan apabila secara finansial memiliki nilai Net B/C Ratio > 1; NPV > 0;dan nilai IRR > Social discount rate. Sedang untuk mengetahui berapa lama waktu yang diperlukan bagi aliran tunai yang dihasilkan oleh suatu kegiatan investasi untuk menutup semua biaya/ modal awalnya, digunakan kriteria Payback Period (PBP) yang dihitung
dengan menggunakan formula :
RE AnnualCF
InCap
PBP
1
= =

di mana : InCap = modal awal yang dikeluarkan; AnnualCap = aliran tunai bersih
per tahun; R = tingkat pengembalian modal (equity) Rate of Return On Investment (ROI), merupakan sebuah ukuran terhadap kemampuan investasi dalam menghasilkan laba bersih yang diformulasikan
sebagai berikut :
% 100 x
TI
NOIAT
ROI =
TI
di mana NOIAT = laba bersih setelah pajak dan TI = total investasi. Break Even Point (BEP), merupakan sebuah pengukuran untuk mengetahui berapa volume/kapasitas produksi minimum agar investasi itu tidak menderita rugi tetapi juga belum memperoleh keuntungan/laba, yang diformulasikan sebagai berikut :

TP x
TH
TBV TBT
BEP
+
=

di mana TBT = total biaya tetap; TBV = total biaya variable; TH = total harga;
dan TP = total produksi.

BAB II
TINJAUAN ASPEK TERKAIT


2.1. POTENSI SUMBERDAYA
Potensi sumberdaya kelautan Indonesia menyimpan kekayaan berlimpah baik berupa potensi hayati maupun non-hayati yang dimanfaatkan manusia sebagai usaha perikanan, pertambangan, obyek wisata dan jasa transportasi, guna memenuhi kebutuhan hidup manusia. Artinya, sektor perikanan perairan,
berprotensi bagi perkembangan dunia usaha khususnya sebagai sumberpangan dan komoditas perdagangan. Anugerah (2002), memperkirakan potensi perikanan di perairan Indonesia
sebesar 4,5 juta ton/tahun dan ZEE Indonesia sebesar 2,1 juta ton/tahun sehingga totalnya adalah 6,6 juta ton/tahun. Potensi tersebut meliputi sumberdaya ikan pelagis sebesar 3,5 juta ton/tahun, demersal sebesar 2,5 juta ton/tahun, tuna 166.000 ton/tahun, cakalang 275.000 ton/tahun, udang 69.000
ton/tahun dan ikan karang 48.000 ton/ha. Kondisi geografis NTT sebagai propinsi berkepulauan dengan luas wilayah daratan 47.349 km2 dan luas perairan 199.526 km2 yang tersebar di 566
pulau membuktikan bahwa propinsi NTT masih memiliki banyak potensi sumberdaya alam yang belum dikelola secara optimal. Sumberdaya perikanan di perairan NTT, dapat diklasifikasikan menjadi
perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Perikanan tangkap seperti pelagis, demersal, ikan hias, udang dan kepiting sebesar 388,60 metrik ton/tahun dengan jumlah tangkapan yang diperoleh (JTB) sebesar 292,80 metrik ton/tahun. Sementara perikanan budidaya laut termasuk budidaya kerapu, rumput laut, mutiara dan teripang dengan potensi pengembangan sekitar 5.150 ha dan
tingkat pemanfaatan baru mencapai 8,74% (450 ha). Sebagian besar hasil potensi yang ada masih dikelola secara tradisional karena keterbatasan sarana, pengetahuan dan modal. Salah satu jenis ikan yang mempunyai potensi untuk dibudidayakan adalah jenis ikan kerapu tikus (Cromileptes altivalis) karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi dengan harga Rp.100.000,- - Rp.150.000,- per kilogram
bagi ikan kerapu tikus hidup berukuran di atas 300 gram di tingkat pedagang pengumpul.

2.2. LOKASI
Pemilihan lokasi untuk budidaya ikan kerapu memegang peranan yang santa penting. Permilihan lokasi yang tepat akan mendukung kesinambungan usaha dan target produksi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih lokasi untuk budidaya ikan kerapu ini adalah faktor resiko seperti keadaan angin dan gelombang, kedalaman perairan, bebas dari bahan pencemar, tidak mengganggu alur pelayaran; faktor kenyamanan seperti dekat dengan prasarana perhubungan darat, pelelangan ikan (sumber pakan), dan pemasok sarana dan prasarana yang diperlukan (listrik, telpon), dan faktor hidrografi seperti selain harus jernih, bebas dari bahan pencemaran dan bebas dari arus balik, dan
perairannya harus memiliki sifat fisik dan kimia tertentu (kadar garam, oksigen terlarut).
Atas dasar pertimbangan di atas, maka kegiatan budidaya ikan kerapu di Kabupaten Kupang ini dapat dikembangkan di wilayah perairan laut dan pantai Kupang Barat, Semau, dan Sulamu. Dari ketiga wilayah ini, dilihat dari faktor kenyamanan disarankan di Kupang Barat. Di samping itu, dekat dengan Balai Benih Ikan Pantai (BBIP) Tablolong sebagai sumber benih ikan kerapu dan sarana dan prasarana.

2.3. SARANA DAN PRASARANA
Untuk mendukung usaha budidaya ikan kerapu di Kabupaten Kupang, penelusuran terhadap ketersediaan sarana dan prasarana pendukung baik fisik kewilayahan maupun sarana dan prasarana usaha perikanan mutlak dikemukakan sebagai prasyarat keharusan sekaligus acuan pertimbangan bagi
kemudahan pengembangannya kedepan. Berkenaan dengan jenis usaha/komoditas yang akan dikembangkan dan dikaitkan dengan sebaran wilayah usaha budidaya/produksi perikanan, maka
sarana dan prasarana fisik yang perlu mendapatkan perhatian meliputi prasarana dan sarana tranportasi, kelistrikan, dan telekomunkasi.
Perhubungan Darat
Menurut data Kabupaten Kupang dalam Angka Tahun 2004, panjang jalan di Kabupaten Kupang adalah 1,270.10 Km. Dari total panjang jalan yang ada, 627.80 Km ( 49.4 %) berada dalam kondisi baik, 382.42 Km ( 30.1 %) dalam kondisi sedang, dan 259.88 Km ( 20.5 %) dalam keadaan rusak. Sedang
menurut jenis permukaannya, dari total panjang jalan di atas, 572.01 Km ( 45.0 %) merupakan jalan aspal, 430.30 Km ( 33.9 %) berkerikil dan 267.79 Km ( 21.1 %) merupakan jalan tanah. Gambaran di atas menunjukkan bahwa untuk perhubungan darat prasarana transportasi bukanlah merupakan persoalan. Bahkan jalan raya sebagai alat vital untuk mendukung aktivitas ekonomi sudah menjangkau daerah kantong produksi. Meskipun demikian, karena sebagian dari ruas jalan yang ada kondisi permukaannya adalah tanah yang mudah rusak di musim penghujan maka untuk memperlancar arus transportasi peningkatan kualitas permukaan jalan serta upaya perbaikan/pemeliharaan, merupakan hal yang perlu untuk dilakukan. Untuk mengantisipasi kebutuhan ke depan, dianjurkan pengadaan sarana angkutan barang khusus terutama untuk mengangkut berbagai komoditas yang dihasilkan dari daerah kantong produksi. Hal ini penting di samping merangsang produsen untuk meningkatkan hasil produksinya juga penting untuk meminimalisir risiko kerusakan yang terjadi.
Perhubungan Laut
Kabupaten Kupang tergolong pula sebagai kabupaten kepulauan karena mencakup 27 buah pulau (5 buah pulau yang berpenghuni), sehingga prasarana dan sarana perhubungan transportasi laut menjadi sangat penting dalam perekonomian Kabupaten Kupang baik itu untuk keperluan antar pulau dalam kabupaten maupun antar kabupaten di NTT, juga dalam berhubungan dengan wilayah lainnya di Indonesia. Di Kabupaten Kupang, angkutan penyeberangan laut antar pulau menggunakan Kapal Motor Penyeberangan (KMP) atau Ferry dan Perahu Layar Motor (PLM). Ferry melayani rute Kupang ke semua pelabuhan di NTT juga dari Kupang – Surabaya dalam dua kali seminggu. Fasilitas pelabuhan
penyeberangan yang ada di Kabupaten Kupang yaitu di Pelabuhan Bolok I dan Bolok II di wilayah Kecamatan Kupang Barat dengan fasilitas movable bridge dan Pelabuhan Seba di Sabu yang menggunakan fasilitas pelabuhan laut. Di samping pelabuhan penyeberangan, tersedia pula pelabuhan laut yang sangat besar peranannya dalam perekonomian daerah karena merupakan pintu
masuk dan keluar (outlet) baik penumpang maupun barang. Terdapat 6 pelabuhan laut yang ada di Kabupaten Kupang yaitu : Pelabuhan Nusa Lontar
Tenau Kupang yang berfungsi sebagai pelabuhan ekspor, pelabuhan Naikliu di Kecamatan Amfoang Utara, Seba dan Biu di Sabu, Pelabuhan Raijua di Pulau Raijua, dan Pelabuhan Uiasa di Pulau Semau. Budidaya Ikan Karapu 10 Pelabuhan Udara Terdapat dua pelabuhan udara diKabupaten Kupang yaitu Bandar Udara Eltari yang tergolong bandara kelas II dan Bandar Udara Terdamu yang tergolong kelas V di Pulau Sabu. Jadwal penerbangan berlangsung setiap hari oleh maskapai penerbangan MNA, Pelita Air, Batavia Air, Adams Air, Star Air, dan Trans Nusa. Penerbangan domestik antar kabupaten yang ada di NTT dilayani oleh maskapai penerbangan MNA dan Trans Nusa.
Komunikasi
Berbagai media komunikasi baik cetak maupun elektronik sudah menjangkau masyarakat di Kabupaten Kupang. Sarana penerima informasi seperti televisi dan radio telah umum dimiliki serta dimanfaatkan oleh masyarakat, bahkan sampai ke desa-desa. Hal ini berarti masyarakat tidak ketinggalan mengikuti/mengetahui berbagai perkembangan dunia luar. Pelayanan telekomunikasi di Kabupaten Kupang sudah menjangkau hampir seluruh kecamatan baik untuk komunikasi jarak dekat maupun untuk jarak jauh. Di samping itu, untuk kecamatan-kecamatan yang terpencil, komunikasi keluar dengan menggunakan pesawat Short Sound Band (SSB). Menurut data statistik Kabupaten Kupang, sampai tingkat kecamatan terdapat kantor pos dengan mutu pelayanan yang baik. Di Kabupaten Kupang
terdapat 12 Kantor Pos, 6 Kantor Pos Tambahan, 54 Kantor Pos Pembantu dan 47 Pos Desa.

Kelistrikan
Kebutuhan listrik bagi masyarakat dan industri di Kabupaten Kupang disuplai oleh PT. PLN yang telah menjangkau 20 dari 22 kecamatan yang ada. Kapasitas/tenaga listrik yang terjual dari 13 Ranting/Sub Ranting PLN untuk konsumen di wilayah Kabupaten Kupang ini sebesar 7,812,606 Kwh dari
8,101,480 Kwh daya terpasang. Lembaga Keuangan Lembaga keuangan perbankan yang beroperasi dan berperan dalam mengembangkan perekonomian masyarakat Kabupaten Kupang sebanyak 11
bank yang terdiri dari 5 buah Bank Pemerintah yaitu : Bank Mandiri, BNI 1946, BRI, BTN, Bank NTT dan 6 buah Bank Swasta Nasional yaitu : BCA, Danamon, Bukop in, BII, Artha Graha, dan BPR (Sari Dina Kencana dan Pitoby).Di samping itu, terdapat sejumlah Perusahaan Non Perbankan atau Asuransi dan Koperasi
Kredit.

Prasarana Perdagangan
Pasar merupakan prasarana ekonomi yang penting karena dengan adanya pasar maka transaksi jual beli dapat terjadi. Secara tradisional, pasar di wilayah pedesaan umumnya juga berfungsi sosial karena juga menjadi tempat saling bertukar informasi tentang keseharian mereka dan sebagainya.
Prasarana perdagangan yang lain selain pasar adalah rumah toko (Ruko) serta perusahaan perdagangan. Tercatat di Kabupaten Kupang ini ada 990 unit perusahaan perdagangan yang terdiri dari 28 unit (2.83%) perusahaan perdagangan besar, 271 unit (27.37%) perusahaan perdagngan menengah dan 691 unit (69.80 %) perusahaan perdagangan kecil. Dilihat dari sektor kegiatan usaha, umumnya (91.1%) bergerak di bidang perdagangan besar eceran. Sedang yang bergerak di sektor pertanian hanya
0.96 %.

2.4. ANALISIS PRODUKSI
Kerapu merupakan jenis ikan demersal yang suka hidup di perairan karang, di antara celah-celah karang atau di dalam gua di dasar perairan. Ikan karnivora yang tergolong kurang aktif ini relatif mudah dibudidayakan, karena mempunyai daya adaptasi yang tinggi. Untuk memenuhi permintaan akan ikan
kerapu yang terus meningkat, tidak dapat dipenuhi dari hasil penangkapan sehingga usaha budidaya merupakan salah satu peluang usaha yang masih sangat terbuka luas. Dikenal 3 jenis ikan kerapu, yaitu kerapu tikus, kerapu macan, dan kerapu lumpur yang telah tersedia dan dikuasai teknologinya. Dari ketiga jenis ikan kerapu di atas, untuk pengembangan di Kabupaten Kupang ini disarankan jenis
ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis). Hal ini karena harga per kilogramnya jauh lebih mahal dibandingkan dengan kedua jenis kerapu lainnya. Di Indonesia, kerapu tikus ini dikenal juga sebagai kerapu bebek atau di dunia perdagangan internsional mendapat julukan sebagai panther fish karena di sekujur tubuhnya dihiasi bintik-bintik kecil bulat berwarna hitam.

2.4.1. Penyebaran dan Habitat
Daerah penyebaran kerapu tikus di mulai dari Afrika Timur sampai Pasifik Barat Daya. Di Indonesia, ikan kerapu banyak ditemukan di perairan Pulau Sumatera, Jawa, Sulawesi, Pulau Buru, dan Ambon. Salah satu indikator adanya kerapu adalah perairan karang. Indonesia memiliki perairan karang yang cukup
luas sehingga potensi sumberdaya ikan kerapunya sangat besar. Dalam siklus hidupnya, pada umumnya kerapu muda hidup di perairan karang pantai dengan kedalaman 0,5 – 3 m, selanjutnya menginjak dewasa beruaya ke perairan yang lebih dalam antara 7 – 40 m. Telur dan larvanya bersifat pelagis, sedangkan kerapu muda dan dewasa bersifat demersal. Habitat favorit larva dan kerapu tikus muda adalah perairan pantai dengan dasar pasir berkarang yang banyak ditumbuhi padang lamun.
Parameter-parameter ekonlogis yang cocok untuk pertumbuhan ikan kerapu yaitu temperatur antara 24 – 310C, salinitas antara 30 -33 ppt, kandungan oksigen terlarut > 3,5 ppm dan pH antara 7,8 – 8. Perairan dengan kondisi seperti ini, pada umumnya terdapat di perairan terumbu karang.

2.4.2. Proses Budidaya
Budidaya ikan kerapu tikus ini, dapat dilakukan dengan menggunakan bak semen atau pun dengan menggunakan Keramba Jaring Apung (KJA). Untuk keperluan studi ini, dipilih budidaya dengan menggunakan KJA. Budidaya ikan kerapu dalam KJA akan berhasil dengan baik (tumbuh cepat dan
kelangsungan hidup tinggi) apabila pemilihan jenis ikan yang dibudidayakan, ukuran benih yang ditebar dan kepadatan tebaran sesuai.


Pemilihan Benih
Kriteria benih kerapu yang baik, adalah : ukurannya seragam, bebas penyakit, gerakan berenang tenang serta tidak membuat gerakan yang tidak beraturan atau gelisah tetapi akan bergerak aktif bila ditangkap, respon terhadap pakan baik, warna sisik cerah, mata terang, sisik dan sirip lengkap serta tidak cacat tubuh.

Penebaran Benih
Proses penebaran benih sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup benih. Sebelum ditebarkan, perlu diadaptasikan terlebih dahulu pada kondisi lingkungan budidaya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam adaptasi ini, adalah : (a) waktu penebaran (sebaikanya pagi atau sore hari,
atau saat cuaca teduh), (b) sifat kanibalisme yang cenderung meningkat pada kepadatan yang tinggi, dan (c) aklimatisasi, terutama suhu dan salinitas.
Pendederan
Benih ikan kerapu ukuran panjang 4 – 5 cm dari hasil tangkapan maupun dari hasil pembenihan, didederkan terlebih dahulu dalam jaring nylon berukuran 1,5x3x3 m dengan kepadatan ± 500 ekor. Sebulan kemudian, dilakuan grading (pemilahan ukuran) dan pergantian jaring. Ukuran jaringnya
tetap, hanya kepadatannya 250 ekor per jaring sampai mencapai ukuran glondongan (20 – 25 cm atau 100 gram). Setelah itu dipindahkan ke jaring besar ukuran 3x3x3 m dengan kepadatan optimum 500 ekor untuk kemudian dipindahkan ke dalam keramba pembesaran sampai mencapai ukuran konsumsi (500 gram).

Pakan dan Pemberiannya
Biaya pakan merupakan biaya operasional terbesar dalam budidaya ikan kerapu dalam KJA. Oleh karena itu, pemilihan jenis pakan harus benar-benar tepat dengan mempertimbangkan kualitas nutrisi, selera ikan dan harganya. Pemberian pakan diusahakan untuk ditebar seluas mungkin, sehingga setiap ikan memperoleh kesempatan yang sama untuk mendapatkan pakan. Pada tahap pendederan, pakan diberikan secara ad libitum (sampai kenyang). Pemberian pakan sebaiknya pada pagi dan sore hari. Pakan alami dari ikan
kerapu adalah ikan rucah (potongan ikan) dari jenis ikan tanjan, tembang, dan lemuru. Benih kerapu yang baru ditebardapat diberi pakan pelet komersial. Untuk jumlah 1000 ekor ikan dapat diberikan 100 gram pelet per hari. Setelah ± 3-4 hari, pelet dapat dicampur dengan ikan rucah.

Hama dan Penyakit
Jenis hama yang potensial mengganggu usaha budidaya ikan kerapu dalam KJA adalah ikan buntal, burung, dan penyu. Sedang, jenis penyakit infeksi yang sering menyerang ikan kerapu adalah : (a) penyakit akibat serangan parasit, seperti : parasit crustacea dan flatworm, (b) penyakit akibat protozoa, seperti : cryptocariniasis dan broollynelliasis, (c) penyakit akibat jamur (fungi), seperti : saprolegniasis dan ichthyosporidosis, (d) penyakit akibat serangan bakteri, (e) penyakit akibat serangan virus, yaitu VNN (Viral Neorotic
Nerveus).

Panen dan Penanganan Pasca Panen Beberapa hal yang perlu diperhatikan udanntuk menjaga kualitas ikan kerapu yang dibudidayakan dengan KJA, antara lain : penentuan waktu panen,
peralatan panen, teknik panen, serta penanganan pasca panen. Watu panen, biasanya ditentukan oleh ukuran permintaan pasar. Ukuran super biasanya berukuran 500 – 1000 gram dan merupakan ukuran yang mempunyai nilai jual tinggi. Panen sebaiknya dilakukan pada padi atau sore hari sehingga dapat mengurangi stress ikan pada saat panen. Peralatan yang digunakan pada saat panen, berupa : scoop, kerancang, timbangan, alat tulis, perahu, bak pengangkut dan peralatan aerasi. Teknik pemanenan yang dilakukan pada usaha budidaya ikan kerapu dalam KJA dengan metoda panen selektif dan panen total. Panen selektif
adalah pemanenan terhadap ikan yang sudah mencapai ukuran tertentu sesuai keinginan pasar terutama pada saat harga tinggi. Sedang panen total adalah pemanenan secara keseluruhan yang biasanya dilakukan bila permintaan pasar sangat besar atau ukuran ikan seluruhnya sudah memenuhi kriteria jual. Penanganan pasca panen yang utama adalah masalah pengangkutan sampai di tempat tujuan. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar kesegaran ikan tetap dalam kondisi baik. Ini dilakukan dengan dua cara yaitu pengangkutan terbuka dan pengangkutan tertutup. Pengangkutan terbuka digunakan untuk jarak angkut dekat atau dengan jalan darat yang waktu
angkutnya maksimal hanya 7 jam. Wadah angkutnya berupa drum plastik atau fiberglass yang sudah diisi air laut sebanyak ½ sampai 2/3 bagian wadah sesuai jumlah ikan. Suhu laut diusahakan tetap konstan selama perjalanan yaitu 19-210
C. Selama pengangkutan air perlu diberi aerasi. Kepadatan ikan
sekitar 50kg/wadah. Cara pengangkutan yang umum digunakan adalah dengan pengangkutan
tertutup dan umumnya untuk pengangkutan dengan pesawat udara. Untuk itu, 1 kemasan untuk 1 ekor ikan dengan berat rata-rata 500 gam.

2.4.3. Konstruksi Keramba Jaring Apung
a. Pembuatan Rakit Keramba
1. Rakit
Rakit dapat dibuat dari bahan kayu, bambu atau besi yang dilapisi anti karat. Ukuran bingkai rakit biasanya 6 x 6 m atau 8 x 8 m.

2. Pelampung
Untuk mengapungkan satu unit rakit, diperlukan pelampung yang berasal dari bahan drum bekas atau drum plastik bervolume 200 liter, styreofoam da drum fiber glass. Kebutuhan pelampung untuk satu unit rakit ukuran 6x6 m yang dibagi 4 bagian diperlukan 8-9 buah pelampung dan 12
buah pelampung untuk rakit berukuran 8x8 m. Budidaya Ikan Karapu 16 3. Pengikat
Bahan pengikat rakit bambu dapat digunakan kawat berdiameter 4-5 mm atau tali plastik polyetheline. Rakit yang terbuat dari kayu dan besi, pengikatannya menggunakan baut. Untuk mengikat pelampung ke bingkai rakit digunakan tali PE berdiameter 4-6 mm.

4. Jangkar
Untuk menahan rakit agar tidak terbawa arus air, digunakan jangkar yang terbuat dari besi atau semen blok. Berat dan bentuk jangkar disesuaikan dengan kondisi perairan setempat. Kebutuhan jangkar per unit keramba minimal 4 buah dengan berat 25 - 50 kg yang peletakannya dibuat
sedemikian rupa sehingga rakit tetap pada posisinya. Tali jangkar yang digunakan adalah tali plastik/PE berdiameter 0,5 – 1,0 inchi dengan panjang minimal 2 kali kedalaman perairan.


b. Pembuatan Jaring
1. Jaring
Kantong jaring yang dipergunakan dalam usaha budidaya ikan kerapu, sebaiknya terdiri dari dua bagian, yaitu :
(a) Kantong jaring luar yang berfungsi sebagai pelindung ikan dari serangan
ikan-ikan buas dan hewan air lainnya. Ukuran kantong dan lebar mata jaring untu kantong jaring luar lenih besar dari kantong jaring dalam;
(b) Kantong jaring dalam, yang dipergunakan sebagai tempat memelihara ikan. Ukurannya bervariasi dengan pertimbangan banyaknya ikan yang dipelihara dan kemudahan dalam penanganan dan perawatannya.

2. Pemberat
Pemberat berfungsi untuk menahan arus dan menjaga jaring agar tetap simetris. Pemberat yang terbuat dari batu, timah atau beton dengan berat 2 – 5 kg per buah, dipasang pada tiap-tiap sudut keramba/ jaring.

2.5. ANALISIS PASAR
Potensi dan peluang pasar hasil laut dan ikan cukup baik. Pada tahun 1994, impor dunia hasil perikanan sekitar 52,492 juta ton. Indonesia termasuk peringkat ke-9 untuk ekspor ikan dunia. Permintaan ikan pada tahun 2010 diperkirakan akan mencapai 105 juta ton.
Di samping itu, peluang dan potensi pasar dalam negeri juga masih baik. Total konsumsi ikan dalam negeri tahun 2001 sekitar 46 juta ton dengan konsumsi rata-rata 21.71 kg/kepala/tahun. Dengan elastisitas harga 1.06 berarti permintaan akan ikan tidak akan banyak berubah dengan adanya perubahan harga ikan. Tingkat konsumsi ikan bagi penduduk NTT pada tahun 2004 mencapai sekitar 17.14 kg/kapita yang baru mencapai sekitar 68.56% dari strandar konsumsi ikan nasional yaitu 25 kg.
Negara yang menjadi tujuan ekspor ikan kerapu adalah Hongkong, Taiwan, Cina, dan Jepang. Harga ikan kerapu di tingkat pembudidaya untuk tujuan ekspor telah mencapai US$33 per kilogramnya. Ikan kerapu yang berukuran kecil (4-5 cm) sebagai ikan hias laku dijual dengan hargaRp.7.000/ekor sedang untuk ikan konsumsi dengan ukuran 400-600 gram/ekorlaku dijual dengan harga Rp.70.000/kg untuk kerapu macan dan Rp.300.000/kguntuk kerapu bebek atau kerapu tikus (harga tahun 2001).
Dalam analisis ini, tingkat harga jual digunakan harga pasaran saat ini yaitusebesar Rp.317,000,- per kilogram untuk jenis ikan kerapu tikus. Dengan tingginya permintaan dan harga jual ikan kerapu, maka usahabudidaya ikan kerapu ini diharapkan dapat digunakan untuk meningkatkandevisa negara melalui hasil ekspor.
BAB III
ANALISIS KEUNGGULAN KOMODITAS

3.1. KRITERIA KEUNGGULAN
Terdapat beberapa kriteria yang digunakan untuk menentukan apakah suatu komoditas tergolong unggul atau tidak bagi suatu wilayah. Kriteria-kriteria tersebut, adalah (Alkadri, dkk. 2001 dalam Daryanto, 2003) : (1) harus mampu menjadi penggerak utama (prime mover) pembangunan perekonomian, (2) mempunyai keterkaitan ke depan dan ke belakang kuat baik sesama komoditas
unggulan maupun komoditas lainnya, (3) mampu bersaing dengan produk/komoditas sejenis dari wilayah lain di pasar nasional maupun internasional baik dalam hal harga produk, biaya produksi, maupun kualitas pelayanan, (4) memiliki keterkaitan dengan wilayah lain baik dalam hal pasar maupun pasokan bahan baku, (5) memiliki status teknologi yang terus meningkat, (6) mampu menyerap tenaga kerja berkualitas secara optimal sesuai dengan skala produksinya, (7) dapat bertahan dalam jangka panjang tertentu, (8) tidak rentan terhadap gejolak eksternal dan internal, (9) pengembangannya
harus mendapatkan berbagai bentuk dukungan (keamanan, sosial, budaya, informasi dan peluang pasar, kelembagaan, fasilitas insentif/ disinsentif, dan lainnya, dan (10) pengembangannya berorientasi pada kelestarian sumberdaya Sesuai dengan kriteria-kriteria di atas dan terkait dengan jenis komoditas yang dikaji, maka untuk menentukan apakah usaha budidaya ikan kerapu Kabupaten Kupang ini unggul atau tidak, kriteria-kriteria yang digunakan adalah :
tingkat produksi, permintaan/peluang pasar (lokal, antarpulau,ekspor), prasarana dan sarana penunjang, keterkaitan ke depan dan ke belakang, skala pengembangan, dukungan dan peran dalam kebijakan regional maupun nasional, penyerapan tenaga kerja, dan ketersediaan tenaga kerja. Ada beberapa cara atau teknik kuantifikasi untuk mengidentifikasi suatu komoditas dikatakan sebagai komoditas unggulan, di antaranya dengan menghitung besarnya indeks forward dan backward linkages. Cara lainnya, adalah penentuan komoditas unggulan didasarkan pada kriteria tertentu,
kemudian terhadap kriteria-kriteria yang ada diberi skor (scoring). Cara terakhir inilah yang digunakan dalam kajian ini. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Daryanto (2003) bahwa cara scoring ini lebih bermanfaat mengingat keterbatasan ketersediaan data pada skala wilayah yang dirinci menurut sektor, meskipun cara scoring ini mempunyai kelemahan dalam hal tingkat subyektivitas dalam pemberian skor. Cara scoring ini sudah luas digunakan seperti di Kabupaten Sangihe Talaud (Propinsi Sulawesi Utara), Riau, Jawa Barat, dan DKI Jakarta.
Atas dasar kriteria-kriteria dan teknik kuantifikasi di atas, maka hasil penentuan terhadap keunggulan dari usaha budidaya ikan kerapu Kabupaten Kupang seperti ditunjukkan pada
Tabel 1.
Dari Tabel 1, dapat disimpulkan bahwa komoditas ikan kerapu tergolong sebagai salah satu komoditas unggulan untuk Kabupaten Kupang sehingga perlu mendapat prioritas pengembangan dalam rangka pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Tabel 1

Tabel 1
Penentuan Keunggulan Usaha Budidaya Ikan Kerapu
Di Kabupaten Kupang
Kriteria Bobot Indikator Score Nilai
1. Permintaan Pasar
(Ekspor/Antarpulau/
Lokal)
50 Tinggi, terutama
Untuk ekspor ke
Hongkong, China,
Singapore, Taiwan, dan
Jepang
3 150
2. Prasarana dan Sarana
Penunjang


50
Tersedianya berbagai
prasarana dan sarana
penunjang baik fisik
kewilayahan maupun
sumber daya
perikanannya

3

150
3. Foreward & Backward
Linkages

20
Pengembangan usaha
budidaya ikan kerapu akan
dapat mendorong
tumbuhnya industri-industri
baru baik hulu maupun hilir

2

40


4. Skala Pengembangan 30 Mempunyai peluang untuk
dikembangkan dalam skala
kecil, menengah atau pun
skala besar
3 90
5. Dukungan dan peran
dalam kebijakan
regional
dan nasional


20
Menunjang upaya
peningkatan PAD dan
pendapatan masyarakat.


2


40
6. Penyerapan tenaga
kerja
30 Usaha budidaya ikan
kerapu ini menyerap cukup
banyak tenaga kerja
terutama di sektor
pembesaran
2 60
7. Ketersediaan
teknologi
10 Teknologi budidaya ikan
kerapu cukup tersedia dan
selalu berkembang
3 30
Jumlah 560


3.2. PELUANG USAHA
Pengembangan usaha budidaya ikan kerapu di wilayah perairan Kabupaten Kupang, merupakan pemanfaatan peluang kegiatan dari potensi sumberdaya wilayah yang tersedia. Dengan memperhatikan tingkat perkembangan produksi dan potensi sumberdaya perairan serta letak geografis
Kabupaten Kupang, maka peluang investasi bagi para investor/calon sangat terbuka untuk budidaya ikan kerapu. Peluang yang ada akan semakin luas apabila produksi hasil budidaya yang ada ditujukan bagi konsumen di luar wilayah dan juga dalam bentuk olahan (kaleng, atau pembekuan, dan lainnya). Dengan demikian, peluang pasar atas ikan kerapu ini dapat ditujukan untuk pasar lokal, antarpulau, maupun ekspor. Untuk mendukung usaha budidaya (pembesaran), terbuka pula peluang
usaha di bidang pembenihan. Atas dasar perkiraan jumlah investasi yang dibutuhkan, maka peluang
usaha di bidang budidaya ikan kerapu ini dapat dilakukan dalam skala kecil ataupun menengah. Dalam jangka panjang, dapat mengundang masuknya usaha skala besar.-
BAB IV
PROFIL INVESTASI

4.1. ANALISIS TEKNIS INVESTASI
4.1.1. Perkiraan Modal/Biaya Investasi dan Biaya Produksi
Untuk mendirikan usaha/proyek pengembangan usaha budidaya ikan kerapu dengan sistem keramba jaring ikat, dibutuhkan sejumlah dana untuk membiayai investasi dan modal kerja.
Komponen biaya investasi ini, meliputi :
a. Pembuatan rakit berukuran 8 x 8 m
b. Pembuatan waring berukuran 1 x 1 x 1,5 m
c. Pembuatan jaring ukuran 3 x 3 x 3 m
d. Pembuatan rumah jaga
e. Pengadaan sarana kerja
Sedang untuk modal kerja meliputi : biaya pengadaan benih, pakan, bahan bakar, upah/gaji, dan lain-lain. Adapun jumlah dana untuk membiayai berbagai komponen biaya di atas, dihitung berdasarkan tingkat harga di wilayah proyek dan beberapa asumsi. e. Pengadaan sarana kerja Sedang untuk modal kerja meliputi : biaya pengadaan benih, pakan, bahan bakar, upah/gaji, dan lain-lain.
Adapun jumlah dana untuk membiayai berbagai komponen biaya di atas, dihitung berdasarkan tingkat harga di wilayah proyek dan beberapa asumsi.
Asumsi-asumsi tersebut, adalah :
1. Umur proyek 5 thun.
2. Sumber dana untuk membiayi kegiatan investasi khusus untuk biaya
investasi berasal dari pinjaman sebesar Rp. 15,000,000,- dengan tingkat
bunga 18% per tahun (flat) dalam jangka waktu 5 tahun.
3. Pajak penghasilan 15 % per tahun.
4. Penyusutan atas aktiva tetap dihitung dengan metoda garis lurus dengan nilai 4. Penyusutan atas aktiva tetap dihitung dengan metoda garis lurus dengan nilai sisa = 0 dan umur ekonomis dari setiap asset 5 tahun.
5. Benih yang ditebarkan berukuran 4-5 cm sebanyak 2,500 ekor dengan tingkat kehidupan sampai umur panen 65% dengan berat 450 gram/ekor.
6. Jangka waktu pembesaran atau umur produksi untuk mencapai berat jual/ panen adalah 12 bulan (1 tahun).

4. Penyusutan atas aktiva tetap dihitung dengan metoda garis lurus dengan nilai sisa = 0 dan umur ekonomis dari setiap asset 5 tahun.
5. Benih yang ditebarkan berukuran 4-5 cm sebanyak 2,500 ekor dengan tingkat kehidupan sampai umur panen 65% dengan berat 450 gram/ekor.
6. Jangka waktu pembesaran atau umur produksi untuk mencapai berat jual/ panen adalah 12 bulan (1 tahun). Budidaya Ikan Karapu 23
4.1.2. Analisis Profitability Financial
Analisis ini dilakukan untuk melihat kelayakan dari usaha budidaya ikan kerapu tikus dengan sistem KJA di Kabupaten Kupang, yang meliputi :

4.1.2.1. Analisis Proyeksi Rugi Laba
Perhitungan/analisis rugi laba dari usaha budidaya ikan kerapu tikus dengan sistem KJA di Kabupaten Kupang ini didasarkan pada asumsi-asumsi seperti yang telah dikemukakan terdahulu. Hasil analisisnya seperti ditunjukkan
pada Tabel 3 berikut.
Tabel 3
Analisis Rugi Laba Usaha Budidaya Ikan Kerapu Tikus Dengan Sistem KJA Di Kabupaten Kupang (Rp.000)
No. Uraian Total (Rp)
1 Total Biaya 737,993
2 Total Penerimaan 1,212,525
3 Total Pendapatan sebelum Pajak 474,532
4 Pajak Penghasilan (15%) 71,179.73
5 Total Pendapatan Bersih setelah Pajak 403,351.80

Dari Tabel 3, terlihat bahwa usaha budidaya ikan kerapu tikus selama 5 tahun atau 5 kali siklus produksi memberikan pendapatan bersih setelah pajak sebesar Rp.403,351.80,- Rinciannya, dapat disimak pada Lampiran 4.

4.1.2.2. Analisis Cash Flow dan Kelayakan Investasi
Analisis ini menggambarkan proyeksi arus penerimaan dan arus pengeluaran dari usaha budidaya ikan kerapu tikus dengan sistem KJA selama 5 tahun usaha. Nampak bahwa, investasi di bidang usaha budidaya ikan kerapu di Budidaya Ikan Karapu 24 Kabupaten Kupang dengan teknologi dan kapasitas produksi yang ada, mampu memberikan adanya surplus pendapatan bagi pihak investor. Kriteria-kriteria
kelayakan finansial dari usaha budidaya ikan kerapu dengan sistem KJA di Kabupaten Kupang sbb :

Tabel 4
Kriteria Kelayakan Usaha Budidaya Ikan Kerapu Tikus Dengan Sistem KJA Di Kabupaten Kupang
No. Kriteria Kelayakan Nilai Kriteria 1 Net Present Value/NPV pada DF 18% (Rp.000) 441,080,000.-
2 Net B/C Ratio pada DF 18% 3.53
3 Internal Rate of Return/IRR (%) 69.4
4 Payback Period/PBP Tahun Ke-1
(1.56 kali proses produksi)
5 Rate of Return On Investment/ROI (%) 64.3
6 Break Even Point/BEP :
¾ Unit kg
¾ Rupiah
307.40
144,369/kg 4.1.2.3. Analisis Payback Period
Analisis ini dimaksudkan untuk mengetahui berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh kembali dana/biaya yang telah diinvestasikan untuk usaha budidaya ikan kerapu di Kabupaten Kupang. Dari Tabel 4, terlihat bahwa dalam jangka waktu kurang dari 2 tahun atau tepatnya 1.56 kali proses
produksi dana yang diinvestasikan itu dapat diperoleh kembali.

4.1.2.4. Analisis Net Present Value/NPV
Analisis ini menunjukkan nilai uang yang diterima dari dana yang diinvestasikan pada saat ini. Dari Tabel 4, terlihat bahwa dari total dana yang diinvestasikan untuk usaha budidaya ikan kerapu tikus dengan sistem KJA di Kabupaten Kupang saat ini, nilai uang yang diterima selama masa investasi
(NPV) sebesar Rp. 441,080,000,- dengan Net B/C Ratio sebesar 3.53 pada tingkat diskonto (DF) 18%. Angka yang ada menunjukkan bahwa kegiatan investasi di bidang usaha budidaya ikan kerapu tikus di Kabupaten Kupang secara finansial layak atau memiliki daya keuntungan yang tinggi.
4.1.2.5. Analisis Internal Rate of Return/IRR
Analisis ini dimaksudkan untuk melihat kekuatan arus perputaran modal di dalam usaha. Hasil analisis diperoleh IRR sebesar 69.4% yang bila dibandingkan dengan tingkat suku bunga pinjaman 18% per tahun, menunjukkan bahwa investasi di bidang usaha budidaya ikan kerapu di Kabupaten Kupang adalah layak untuk diusahakan.


4.1.2.6. Analisis Rate of Return On Investment/ROI
Analisis ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan modal yang diinvestasikan dalam keseluruhan aktiva untuk menghasilkan keuntungan bagi investor. Hasil analisis diperoleh nilai ROI untuk investasi usaha budidaya ikan kerapu tikus dengan sistem KJA di Kabupaten Kupang sebesar 64.3%.
4.1.2.7. Analisis Break Even Point/BEP
Analisis ini dimaksudkan untuk mengetahui berapa jumlah produk yang harus dijual atau berapa harga jualnya agar perusahaan itu tidak mengalami kerugian. Hasil analisis menunjukkan bahwa untuk mencapai BEP, maka jumlah hasil budidaya ikan kerapu tikus ini setiap tahunnya minimum sebanyak 307.40 kg atau dengan harga jual Rp.144,369,- per kilogram.
BAB V
PENUTUP

Dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi, maka pengembangan bidang atau komoditas potensial yang didukung oleh sumberdaya alam, sumberdaya manusia serta prasarana dan sarana penunjang yang tersedia baik jumlah maupun kualitas yang memadai, mutlak menjadi bahan pertimbangan. Bidang usaha budidaya ikan kerapu di sektor perikanan merupakan salah satu peluang usaha yang mempunyai prospek ekonomi dan finansial yang baik dan layak untuk dikembangkan di Kabuaten Kupang. Hal ini karena Kabupaten Kupang sebagian besar wilayahnya terdiri atas perairan laut yang memiliki potensi sumberdaya laut yang tinggi, tersedianya prasarana dan sarana baik fisik
kewilayahan maupun sumberdaya perikanan yang cukup memadai, tersedianya
pasar potensial, serta adanya dukungan dari masyarakat dan pemerintah. Hasil analisis finansial menunjukkan bahwa investasi di bidang usaha budidaya ikan kerapu di Kabupaten Kupang sangat fisibel untuk dijadikan usaha investasi bagi para investor. Dengan kondisi yang sangat kondusif di atas, diharapkan para investor dan/atau calon investor agar segera melakukan kontak bisnis dengan pihak
Pemerintah Daerah dan merealisasikan investasinya. Kegiatan investasi di bidang usaha budidaya ikan kerapu di Kabupaten Kupang ini akan sangat mendapatkan respons dan perhatian dari Pemerintah Daerah bersama pihak-pihak terkait akan siap membantu dan memfasilitasi terhadap berbagai
hambatan dan kesulitan yang dihadapi investor dan/atau calon investor. Meskipun investasi di bidang budidaya ikan kerapu ini bersifat terbuka dan tidak harus bermitra, tetapi disarankan untuk dikembangkan dengan pola kemitraan apakah dengan
Pola PIR ataupun Pola ABA.

Lampiran 1. Perkiraan Biaya Investasi Budidaya Ikan Kerapu Tikus Di Kabupaten Kupang
Dengan Sistem Keramba Jaring Apung


Komponen Jumlah Harga Satuan Harga Total
Rp Rp
I. Pembuatan Rakit 1 buah
1. Pelampung Styrofoam 12 buah 250,000 3,000,000
3. Kayu Balok 15 batang 125,000 1,875,000
4. Papan Pijakan 24 lembar 40,000 960,000
5. Tali PE pengikat pelampung 1 gulung 75,000 75,000
6. Tali P12 mm 50 kg 20,000 1,000,000
7. Paku 10 kg 15,000 150,000
8. Baut 36 buah 7,500 270,000
9. Jangkar besi 4 buah 150,000 600,000
10. Upah kerja 1 unit 350,000 350,000
Jumlah I 8,280,000
II. Pembuatan Waring 16 unit
1. Waring 200 m 5,000 1,000,000
2. Tali PE diameter 0.6 cm 3 gulung 50,000 150,000
3. Upah kerja 16 unit 25,000 400,000
Jumlah II 1,550,000
III. Pembuatan Jaring 8 unit
1. Jaring PE 1.25 1.5 inchi 50 kg 75,000 3,750,000
2. Tali PE diameter 0.8 cm 3 gulung 75,000 225,000
3. Upah kerja 8 unit 35,000 280,000
Jumlah III 4,255,000
IV. Rumah Jaga 1 unit
1. Kayu Balok 20 batang 50,000 1,000,000
2. Papan 5 batang 15,000 75,000
3. Sesek Bambu (dinding) 10 lembar 15,000 150,000
4. Paku 5 kg 15,000 75,000
5. Baut 15 buah 7,500 112,500
6. Upah Kerja 1 unit 350,000 350,000
Jumlah IV 1,762,500
V. Sarana Kerja
1. Perahu motor 1 unit 7,500,000 7,500,000
2. Bak Penampung 3 buah 1,500,000 4,500,000
3. Peralatan Lapangan/kerja 1 paket 750,000 750,000
Jumlah V 12,750,000
Total Biaya Investasi 28,597,500

Lampiran 2. Perkiraan Biaya Operasional Budidaya Ikan Kerapu Tikus
Di Kabupaten Kupang Dengan Sistem Keramba Jaring Apung


Komponen Jumlah
Harga
Satuan Harga Total
Rp Rp
I. Biaya Variabel
1. Benih 2.500 ekor 7,500 18,750,000
2. Pakan ikan segar 4.000 kg 3,000 12,000,000
3. Bahan bakar + lampu 1 paket 7,500,000 7,500,000
4. Es Balok 175 balok 7,500 1,312,500
5. Gaji dan Upah :
Pekerja : 2 org x 12 bulan 24 OB 450,000 10,800,000
Teknisi : 1 org x 12 bulan 12 OB 900,000 10,800,000
6. Perawatan (5% dari biaya investasi) 1 paket 1,429,875 1,429,875
7. Biaya lain-lain (10% dari biaya variabel) 1 paket 6,259,238 6,259,238
Total Biaya Variabel 68,851,613
II. Biaya Tetap
1. Penyusutan 6,138,917
2. Angsuran 3,000,000
3. Bunga pinjaman (18%/tahun) 2,700,000
Total Biaya Tetap 11,838,917
Total Biaya Operasional 80,690,530

Lampiran 3. Perkiraan Biaya dan Penerimaan dari Budidaya Ikan Kerapu Tikus
Di Kabupaten Kupang dengan Sistem Keramba Jaring Apung (Rp.000)

Uraian Tahun Ke-
0 1 2 3 4 5
BIAYA INVESTAS
1. Pembuatan Rakit 8,280
2. Pembuatan Waring 1,550
3. Pembuatan Jaring 4,255
4. Pembuatan Rumah Jaga 1,762.5
5. Sarana Kerja 12,750
Total Biaya Investasi 28,597.5
BIAYA VARIABEL
Benih 8,750 19,688 20,672 21,705 22,791 23,930
Pakan Ikan Segar 12,000 12,600 13,230 13,892 14,586 15,315
Bahan Bakar + Lampu 7,500 7,875 8,269 8,682 9,116 9,572
Es Balok 1,312.5 1,378 1,447 1,519 1,595 1,675
Gaji dan Upah 21,600 22,680 23,814 25,005 26,255 27,568
Perawatan 1,430 1,502 1,577 1,655 1,738 1,825
Lain-lain 6,259 6,572 6,901 7,246 7,608 7,988
Total Biaya Variabel 68,851.5 72,294 75,910 79,704 83,689 87,873
BIAYA TETAP
Penyusutan 6,139 6,139 6,139 6,139 6,139
Angsuran 3,000 3,000 3,000 3,000 3,000
Bunga pinjaman 2,700 2,700 2,700 2,700 2,700
Total Biaya Tetap 11,839 11,839 11,839 11,839 11,839
Total Biaya 97,449.0 84,133 87,749 91,543 95,528 99,712
PENERIMAAN
Produksi (kg) 675 675 675 900 900
Harga per kg 317,000 317,000 317,000 317,000 317,000
Penerimaan 213,975 213,975 213,975 285,300 285,300

Lampiran 4. Proyeksi Arus Kas Budidaya Ikan Kerapu Tikus Di Kabupaten Kupang
Dengan Sistem Keramba Jaring Apung (Rp.000,-)

Uraian Tahun Ke -
0 1 2 3 4 5
CASH IN FLOW
Produksi (kg) 675 675 675 900 900
Harga Rp/kg 317,000 317,000 317,000 317,000 317,000
Penerimaan 213,975 213,975 213,975 285,300 285,300
CASH OUT FLOW
Biaya Investasi 28,597.50
Biaya Variabel

68,851.5 72,294 75,910 79,704 83,689 87,873
Biaya Tetap 6,139 6,139 6,139 6,139 6,139
Angsuran 3,000 3,000 3,000 3,000 3,000
Bunga Pinjaman 2,700 2,700 2,700 2,700 2,700
Pajak (15%) 32,096 32,096 32,096 42,795 42,795
Total Biaya 97,449 116,229 119,845 123,639 138,323 142,507

SURPLUS /
DEFISIT (97,449) 97,746 94,130 90,336 146,977 142,793

DF 18% 1 0.847 0.718 0.609 0.516 0.437
PV (97,449) 82,791 67,585 55,014 75,840 62,401

KESIMPULAN
NET B/C DF 18% 3.53 PBP Tahun ke-1 BEP (kg) 307.40
NPV DF 18% 441,080
IRR 0.6940 ROI 64.30% BEP (Rp) 144,369/kg

Selasa, 01 Maret 2011

PROSES PEMBUATAN GARAM DARI AIR LAUT DENGAN TUJUAN AKHIR PEMANFAATAN LIMBAH AIR LAUT UTK BERBAGAI KEPENTINGAN

PROSES PEMBENTUKAN KRISTALISASI GARAM

oleh Dini Purbani
Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati
Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan
Abstrak
Produktivitas pembikinan garam masih rendah. Menurut catatan Departemen
Perindustrian dan Perdagangan, dalam satu tahun Indonesia membutuhkan garam
sekitar 2,1 juta ton. Namun Indonesia hanya mampu memenuhinya sebesar 112 juta
ton. Sisa kebutuhan sebesar 900 juta ton garam masih diimpor. Hal ini diakibatkan oleh rendahnya kualitas dan kuantitas garam rakyat, untuk itu perlu dilaksanakan
Kegiatan Pendampingan Teknis Pembuatan Garam di daerah-daerah penghasil
garam dan bekerja sama dengan Pemda setempat.



I. Pendahuluan
Latar Belakang
Garam merupakan salah satu kebutuhan yang merupakan pelengkap dari
kebutuhan pangan dan merupakan sumber elektrolit bagi tubuh manusia. Walaupun Indonesia termasuk negara maritim, namun usaha meningkatkan
produksi garam belum diminati, termasuk dalam usaha meningkatkan
kualitasnya. Di lain pihak untuk kebutuhan garam dengan kualitas baik
(kandungan kalsium dan magnesium kurang) banyak diimpor dari luar
negeri, terutama dalam hal ini garam beryodium serta garam industri.
Kebutuhan garam nasional dari tahun ke tahun semakin meningkat seiring
dengan pertambahan penduduk dan perkembangan industri di Indonesia
sebagaimana yang disajikan oleh Direktorat Industri Kimia An Organik,
Deperindag dan APROGAKOB pada pertemuan Forum Peluang Pasar garam
Indonesia tanggal 31 Oktober 2000 yaitu tahun 1997 sebesar 1.650.000 ton,
tahun 1998 sebesar 1.825.000 ton, tahun 1999 sebesar 1.935.000 ton dan
tahun 2000 sebesar 2.100.000 ton. Untuk tahun 2000 kebutuhan garam
nasional diproyeksikan berkisar 855.000–950.000 ton untuk kebutuhan
konsumsi dan 1.150.000–1.345.000 ton untuk kebutuhan industri. Sehingga
total kebutuhan garam sebanyak 2.100.000–2.200.000 ton sedangkan
perkiraan proyeksi produksi garam hanya sekitar 300.000–900.000 ton. Ini
berarti bahwa untuk memenuhi kebutuhan garam nasional untuk periode
tahun 2000 paling sedikit harus mengimpor garam sebanyak 1.200.000 ton.
PROSES PEMBENTUKAN KRISTALISASI GARAM
Di Indonesia walaupun merupakan negara kepulauan, tetapi pusat
pembuatan garam terkonsentrasi di Jawa dan Madura yaitu di Jawa seluas
10.231 Ha (Jawa Barat 1.159 Ha, Jawa Tengah 2.168 Ha, Jawa Timur 6.904 Ha)
dan Madura 15.347 Ha (Sumenep 10.067 Ha, Pemekasan 3.075 Ha, Sampang
2.205 Ha). Luas areal yang dikelola oleh PT Garam hanya 5.116 Ha yang
seluruhnya berada di pulau Madura yaitu di Sumenep 3.163 Ha, Pemekasan
907 Ha dan di Sampang 1.046 Ha. Lokasi lainnya yaitu di NTB seluas 1.155 Ha,
Sulawesi Selatan 2.040 Ha, Sumatera dan lain-lain 1.885 Ha, sehingga luas
areal penggaraman seluruhnya sebesar 30.658 Ha dimana 25.542 Ha dikelola
secara tradisional oleh rakyat. Areal garam yang dikelola oleh PT. Garam
produksinya 60 ton/Ha/tahun, sedang garam rakyat hanya 40 ton/Ha/tahun
(PT. Garam Persero, 2000).
Kualitas garam yang dikelola secara tradisional pada umumnya harus diolah
kembali untuk dijadikan garam konsumsi maupun untuk garam industri.
Pembuatan garam dapat dilakukan dengan beberapa kategori berdasarkan perbedaan kandungan NaCl nya sebagai unsur utama garam.,
Jenis garam dapat dibagi dalam beberapa kategori seperti; kategori baik
sekali, baik dan sedang. Dikatakan berkisar baik sekali jika mengandung
kadar NaCl >95%, baik kadar NaCl 90–95%, dan sedang kadar NaCl antara
80–90% tetapi yang diutamakan adalah yang kandungan garamnya di atas
95%.
Garam industri dengan kadar NaCl >95% yaitu sekitar 1.200.000 ton sampai
saat ini seluruhnya masih diimpor, hal ini dapat dihindari mengingat Indonesia
sebagai negara kepulauan. Sistem penggaraman rakyat sampai saat ini menggunakan kristalisasi total
sehingga produktifitas dan kualitasnya masih kurang atau pada umumnya
kadar NaClnya kurang dari 90% dan banyak mengandung pengotor
padahal luas lahan penggaraman rakyat 25.542 Ha atau sekitar 83,31% dari
luas areal penggaraman nasional. Jika 50% dari luas areal penggaraman ini
ditingkatkan produktifitasnya menjadi 80 ton/Ha/tahun, maka dapat
diproduksi garam sebanyak 1.500.000 ton sehingga total produksi garam
nasional menjadi 1.800.000 ton. Dengan demikian kebutuhan impor garam
industri dapat dikurangi dari 1.200.000 ton menjadi hanya sekitar 300.000 ton.
Pada kesempatan ini penulis akan memaparkan kegiatan penggaraman di
di Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi Nusa
Tenggara Timur, dan Provinsi Sulawesi Selatan. Sebagai bentuk dari upaya PROSES PEMBENTUKAN KRISTALISASI GARAM
kegiatan sosialisasi garam.

II. Lokasi Kegiatan
Kegiatan dilaksanakan di daearh pes
Tengah, Kabupaten Lombok Tengah, K
Tenggara Barat, dan Kabupaten Ngad III. Tujuan dan Sasaran
Tujuan Kegiatan Sosialisasi Garam adalah
1. Meningkatkan kualitas dan kuantitas garam rakyat sesuai dengan
standart SNI
2. Memberikan pedoman dan pengarahan dalam pembuatan garam
kepada petani

Sasaran Kegiatan Sosialisasi Garam adalah
1. Menjadikan daerah–daerah lokasi kegiatan dapat memproduksi
garam sebagai komoditi utama,
2. Memiliki sistem tambak garam yang sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.

IV. Metodologi Pembuatan Garam

Proses pembuatan garam dibagi dalam empat tahap yaitu:
1. Penyiapan lokasi penggaraman 2. Alat dan bahan
3. Lokasi penggaraman
4. Proses pembuatan garam

IV. 1. Penyiapan lokasi penggaraman
Proses pembuatan garam yang sederhana adalah menguapkan air laut
sehingga mineral-mineral yang ada di dalamnya mengendap. Hanya saja
mineral-mineral yang kurang diinginkan sedapat mungkin hanya sedikit yang
dikandung oleh garam yang diproduksi.
Lahan pembuatan garam dibuat berpetak-petak secara bertingkat,
sehingga dengan gaya gravitasi air dapat mengalir ke hilir kapan saja
dikehendaki. Dalam tulisan ini diberikan dua model peningkatan mutu
garam, yaitu mengendapkan Ca dan Mg dengan menggunakan Natrium
Karbonat atau Natrium Oksalat yang dikombinasikan dengan cara
pengendapan bertingkat.
Kalsium dan magnesium sebagai unsur yang cukup banyak dikandung PROSES PEMBENTUKAN KRISTALISASI GARAM 3
dalam air laut selain NaCl perlu diendapkan agar kadar NaCl yang diperoleh
meningkat. Kalsium dan magnesium dapat terendapkan dalam bentuk
garam sulfat, karbonat dan oksalat. Dalam proses pengendapan atau
kristalisasi garam karbonat dan oksalat mengendap dahulu, menyusul garam
sulfat, terakhir bentuk garam kloridanya.
Prinsip dasar dari proses pembuatan garam yang dilakukan adalah
menghasilkan garam yang kualitasnya lebih baik. Untuk itu, diperlukan studi
lapangan yang menunjang kualitas garam antara lain kondisi lahan yang
digunakan, kemiringan, uji laboratorium, termasuk kondisi iklim dan
sebagainya, sehingga dihasilkan garam sesuai kualitas yang diharapkan.

Data yang diperlukan yaitu :
• Evaporasi / penguapan (tinggi)
• Kecepatan dan arah angin (>5 m/detik)
• Suhu udara (>32°C)
• Penyinaran matahari (100%)
• Kelembaban udara (<50% H) • Curah hujan (rendah) dan hari hujan (kurang) • Pasang surut IV. 2. Alat Dan Bahan IV. 2.1. Alat Alat-alat yang diperlukan antara lain : • Meteran • Pompa • Pipa paralon, stop kran dan selang karet • Cangkul, linggis, skop, penggaruk dsb. IV. 2.2. Bahan Bahan yang diperlukan antara lain : • Air laut yang bebas dari polusi (dipompa) • Natrium karbonat (teknis) • Natrium Oksalat (teknis) IV. 3. Lokasi Penggaraman Tanah untuk penggaraman yang dipilih harus memenuhi kriteria yang berkaitan dengan ketinggian dari permukaan laut, topografi tanah, sifat fisi tanah, kehidupan (hewan/tumbuhan) dan gangguan bencana alam. a. Letak terhadap permukaan air laut : • Untuk mempermudah suplai air laut • Untuk mempermudah pembuangan b. Topografi : • Dikehendaki tanah yang landai atau kemiringan kecil. • Untuk mengatur tata aliran air dan meminimilisasi biaya konstruksi c. Sifat fisis tanah : Dikehendaki sifat-sifat : PROSES PEMBENTUKAN KRISTALISASI GARAM 4 • Permeabilitas rendah • Tanah tidak mudah retak Pasir : Permeabilitas tinggi Tanah liat : Permeabilitas rendah Retak pada kelembaban rendah Untuk peminihan tanah liat untuk penekanan resapan air (kebocoran) Untuk meja-meja campuran pasir dan tanah liat guna kualitas dan kuantitas hasil produksi Pengujian laborat tanah, yang diperlukan : • Grain size (ukuran) • Kelakuan pada pengerasan (proctor test) Bila diperlukan daya dukung untuk lokasi gudang dan pondasi pompa d. Gangguan kehidupan : • Tanaman pengganggu • Binatang tanah e. Gangguan bencana alam : Daerah banjir / gempa / gelombang pasang IV. 4. Proses Pembuatan Garam Ada bermacam-macam cara pembuatan garam yang telah dikenal manusia, tetapi dalam tulisan ini hanya akan diuraikan secara singkat cara pembuatan garam yang proses penguapannya menggunakan tenaga matahari (solar evaporation), mengingat cara ini dinilai masih tepat untuk diterapkan perkembangan teknologi dan ekonomi di Indonesia pada waktu sekarang. Pada dasarnya pembuatan garam dari air laut terdiri dari langkah-langkah proses pemekatan (dengan menguapkan airnya) dan pemisahan garamnya (dengan kristalisasi). Bila seluruh zat yang terkandung diendapkan/dikristalkan akan terdiri dari campuran bermacam-macam zat yang terkandung, tidak hanya Natrium Klorida yang terbentuk tetapi juga beberapa zat yang tidak diinginkan ikut terbawa (impurities). Proses kristalisasi yang demikian disebut “kristalisasi total”. PROSES PEMBENTUKAN KRISTALISASI GARAM Salinitas 35°/oo atau 3–3,5°Be Waduk/Bozeem (Serapan) Salinitas 50°/oo atau 5–10°Be Peminihan I (serapan + endapan) ±15°Be Peminihan II (serapan + endapan) Pompa Bak Penampungan Air Laut (Pengendapan Partikel/Lumpur) Kolam Pengendapan I Penambahan CO2 atau Oksalat Bak Penampungan Air Laut (Pengendapan Partikel/Lumpur) ±25°Be NaCl >98%

±28°Be

NaCl >97%
NaCl terendapkan 72%
>29°Be

Bittern (Senyawa Mg)
Air Garam >29°Be
Kolam Kristalisasi Garam I
Kolam Kristalisasi Garam II
Dibuang Gambar 1. Bagan Proses Pembuatan Garam Evaporasi
Kadar NaCl Tinggi



Bila terjadi kristalisasi komponen garam tersebut diatur pada tempat-tempat
yang berlainan secara berturut-turut maka dapatlah diusahakan terpisahnya
komponen garam yang relatif lebih murni. Proses kristalisasi demikian disebut
kristalisasi bertingkat. PROSES PEMBENTUKAN KRISTALISASI GARAM 6
Untuk mendapatkan hasil garam Natrium Klorida yang kemurniannya tinggi
harus ditempuh cara kristalisasi bertingkat, yang menurut kelakuan air laut,
tempat kristalisasi garam (disebut meja garam) harus mengkristalkan air
pekat dari 25°Be sehingga menjadi 29°Be, sehingga pengotoran oleh gips
dan garam-garam magnesium dalam garam yang dihasilkan dapat
dihindari/dikurangi.

IV.4.1. Konstruksi Penggaraman
Ada dua macam konstruksi penggaraman yang dipakai di Indonesia :
„ Konstruksi tangga (getrapte)
Yaitu konstruksi yang terancang khusus dan teratur dimana suatu petak
penggaraman merupakan suatu unit penggaraman yang komplit, terdiri dari
peminihan-peminihan dan meja-meja garam dengan konstruksi tangga,
sehingga aliran air berjalan secara alamiah (gravitasi).
„ Konstruksi komplek meja (tafel complex)
Yaitu konstruksi penggaraman dimana suatu kompleks (kelompok-kelompok)
penggaraman yang luas yang letaknya tidak teratur (alamiah) dijadikan
suatu kelompok peminihan secara kolektif, yang kemudian air pekat (air tua)
yang dihasilkan dialirkan ke suatu meja untuk kristalisasi.

IV.4.2. Faktor-faktor Teknis yang Mempengaruhi Produksi Garam
a. Air Laut
Mutu air laut (terutama dari segi kadar garamnya (termasuk kontaminasi
dengan air sungai), sangat mempengaruhi waktu yang diperlukan untuk
pemekatan (penguapan). b. Keadaan Cuaca
• Panjang kemarau berpengaruh langsung kepada “kesempatan” yang
diberikan kepada kita untuk membuat garam dengan pertolongan
sinar matahari.
• Curah hujan (intensitas) dan pola hujan distribusinya dalam setahun
rata-rata merupakan indikator yang berkaitan erat dengan panjang
kemarau yang kesemuanya mempengaruhi daya penguapan air laut.
• Kecepatan angin, kelembaban udara dan suhu udara sangat
mempengaruhi kecepatan penguapan air, dimana makin besar
penguapan maka makin besar jumlah kristal garam yang mengendap.
c. Tanah
• Sifat porositas tanah mempengaruhi kecepatan perembesan
(kebocoran) air laut kedalam tanah yang di peminihan ataupun di
meja.
• Bila kecepatan perembesan ini lebih besar daripada kecepatan
penguapannya, apalagi bila terjadi hujan selama pembuatan garam,
maka tidak akan dihasilkan garam.
• Jenis tanah mempengaruhi pula warna dan ketidakmurnian (impurity) PROSES PEMBENTUKAN KRISTALISASI GARAM
d. Pengaruh air
• Pengaturan aliran dan tebal air dari peminihan satu ke berik
dalam kaitannya dengan faktor-faktor arah kecepatan angin
kelembaban udara merupakan gabungan penguapan air (ko
pemindahan massa).
• Kadar/kepekatan air tua yang masuk ke meja kristalisasi
mempengaruhi mutu hasil.
• Pada kristalisasi garam konsentrasi air garam harus antara 25–
Bila konsentrasi air tua belum mencapai 25°Be maka gips (K Sulfat) akan banyak mengendap, bila konsentrasi air tua lebih dari
29°Be Magnesium akan banyak mengendap.
e. Cara pungutan garam
Segi ini meliputi jadwal pungutan, umur kristalisasi garam dan jadwal
pengerjaan tanah meja (pengerasan dan pengeringan).
Demikian pula kemungkinan dibuatkan alas meja dari kristal garam yang
dikeraskan, makin keras alas meja makin baik.
Pungutan garam ada 2 sistem :
• Sistem Portugis
Pungutan garam di atas lantai garam, yang terbuat dari kristal garam
yang dibuat sebelumnya selama 30 hari, berikut tiap 10 hari dipungut.
• Sistem Maduris
Pungutan garam yang dilakukan di atas lantai tanah, selama antara 10–
15 hari garam diambil di atas dasar tanah. f. Air Bittern
Air Bittern adalah air sisa kristalisasi yang sudah banyak mengandung
garam-garam magnesium (pahit).
Air ini sebaiknya dibuang untuk mengurangi kadar Mg dalam hasil garam,
meskipun masih dapat menghasilkan kristal NaCl. Sebaiknya kristalisasi
garam dimeja terjadi antara 25–29°Be, sisa bittern ≥ 29°Be dibuang.
IV.4.3. Tahapan Proses Pembuatan Garam
a. Pengeringan Lahan
• Pengeringan lahan pemenihan dilaksanakan pada awal bulan April.
• Pengeringan lahan kristalisasi.
b. Pengolahan Air Peminian/Waduk
• Pemasukan air laut ke Peminian.
• Pemasukan air laut ke lahan kristalisasi.
• Pengaturan air di Peminian.
• Pengeluaran Brine ke meja kristal dan setelah habis dikeringkan selama
seminggu.
• Pengeluaran Brine ke meja kristal dan setelah habis dikeringkan, untuk a. Pengeringan Lahan
• Pengeringan lahan pemenihan dilaksanakan pada awal bulan April.
• Pengeringan lahan kristalisasi.
b. Pengolahan Air Peminian/Waduk
• Pemasukan air laut ke Peminian.
• Pemasukan air laut ke lahan kristalisasi.
• Pengaturan air di Peminian.
• Pengeluaran Brine ke meja kristal dan setelah habis dikeringkan selama
seminggu.
• Pengeluaran Brine ke meja kristal dan setelah habis dikeringkan, untuk
pengeluaran Brine selanjutnya dari peminian tertua melalui Brine Tank.
• Pengembalian air tua ke waduk. Apabila air peminihan cukup untuk
memenuhi meja kristal, selebihnya dipompa kembali ke waduk.
c. Pengolahan Air dan Tanah
• Pekerjaan Kesap Guluk (K/G) dan Pengeringan :
- Pertama K/G dilakukan setelah air meja 4–6°Be.
- Kedua K/G dilakukan setelah air meja 18–22°Be dan meja di atasnya
dilakukan K/G dengan perlakuan sama. PROSES PEMBENTUKAN KRISTALISASI GARAM 8
• Lepas air tua dilakukan pada siang hari dengan konsentrasi air garam
24–25°Be dan ketebalan air 3–5 cm.
d. Proses Kristalisasi
• Pemeliharaan meja begaram
• Aflak (perataan permukaan dasar garam)
e. Proses Pungutan
• Umur kristal garam 10 hari secara rutin
• Pengaisan garam dilakukan hati-hati dengan
ketebalan air meja cukup atau 3–5 cm.
• Angkutan garam dari meja ke timbunan membentuk profil (ditiriskan),
kemudian diangkut ke gudang atau siap untuk proses pencucian.
f. Proses Pencucian
• Pencucian bertujuan untuk meningkatkan kandungan NaCl dan
mengurangi unsur Mg, Ca, SO4 dan kotoran lainnya.
• Air pencuci garam semakin bersih dari kotoran akan menghasilkan
garam cucian lebih baik atau bersih.
Persyaratan air pencuci :
- Air garam (Brine) dengan kepekatan 20–24°Be
- Kandungan Mg ≤ 10 g/liter.















Peminihan dengan penguapan Meja kristalisasi Timbunan
di mana terjadi pula pengen- NaCl Garam
dapan Fe2O3, CaCO3 dan
CaSO4.2H2O
± 25 °Be
Peminihan
± 29 °Be
Meja Garam
Air Bittern ≥ 29 °Be, dibuang
Gudang
Penyimpanan
Angin Air laut
Garam
Matahari
Air Laut Tertinggi
3 – 3,5 °Be
Gambar 2. Proses Pembuatan Garam
PROSES PEMBENTUKAN KRISTALISASI GARAM







Gambar 3. Bagan Alir Proses Pembuatan Garam


V. Hasil
Kegiatan ini telah dilaksanakan di daerah :
1. Kabupaten Pati Propinsi Jawa Tengah,
2. Kabupaten Lombok Barat,
3. Kabupaten Lombok Timur Propinsi Nusa Tenggara Barat,
4. Kabupaten Ngada Propinsi Nusa Tenggara Timur, dan
5. Kabupaten Jeneponto Propinsi Sulawesi Selatan. Adapun hasil kegiatan di kelima daerah tersebut sebagai berikut:
V. 1. Kabupaten Pati Propinsi Jawa Tengah
Pelaksanaan kunjungan ke tambak garam di Kabupaten Pati Propinsi Jawa
Tengah. Kunjungan yang pertama ke Pabrik Garam Konsumsi UD. Kalian di
Desa Geneng Mulyo-Kecamatan Juwana, hasil kunjungan sebagai berikut:
1. Pabrik Garam Konsumsi UD Kalian menghasilkan Garam Briket, Garam
Halus dan Garam Curai.
2. Untuk pembuatan Garam halus menggunakan bahan dasar import dari
Australia.
3. Bahan dasar garam lokal yang berasal dari tambak garam setempat
digunakan untuk pembuatan garam briket. Dalam proses pembuatan
garam briket dilakukan pencucian secara konvensional.



PROSES PEMBENTUKAN KRISTALISASI GARAM 10
garam briket dilakukan pencucian secara konvensional.
4. Yodisasi garam konsumsi menggunakan sistem spryer/semprotan tabung
yang digunakan untuk pertanian. 5. Hasil produksi garam berlabel
Kunjungan berikutnya ke pegaraman rakyat di Desa Geneng Mulyo. Hasil
orientasi lapangan sebagai berikut:
1. Di lokasi ini lahan pegaraman rakyat yang produktif untuk produksi
garam kurang lebih 2/3 bagian sedangkan sisanya atau 1/3 bagian
untuk budidaya perikanan bandeng/sejenisnya khususnya lahan
pegaraman rakyat yang mendekati pantai.
2. Lahan pegaraman setiap tahun selalu bertambah luasnya disebabkan
oleh sedimentasi dari pantai.
3. Luas lahan pegaraman rakyat antara 0,5 Ha-3 Ha dengan tenaga
penggarap antara 2-3 orang/Ha.
4. Pembagian/pemetakan lahan pegaraman rakyat antara petak tempat penyimpanan air muda (bozen), petak peminihan dan petak kristalisasi
kurang baik, ditandai dengan sebagian pegaraman terlihat kekurangan
air laut dan sebagian pegaraman rakyat berlebihan air laut.
5. Pemeliharaan kristal garam belum dilakukan dan umur kristal garam
antara 2-4 hari serta pungutan garam dilakukan pada posisi air garam
kandas.
6. Taksasi/perkiraan produksi garam sampai dengan September 2002
mencapai 40 ton/Ha.
7. Kualitas garam secara visual putih buram dan halus, bersifat higroskopis.
8. Harga beli garam curai digudang sebesar Rp. 100,-/kg.
Hasil Sosialisasi
Sosialisasi garam rakyat yang dilaksanakan di Kabupaten Pati, diharapkan
dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas serta pendapatan Petani garam
rakyat di daerah Juwana-Pati melalui teknologi proses pembikinan garam.
PROSES PEMBENTUKAN KRISTALISASI GARAM 11
V.2. Kabupaten Lombok Tengah-Kabupaten Lombok Timur
Dalam kegiatan ini mengunjungi :
1. Kampung Sekuit di Kabupaten Lombok Tengah
2. Desa Ijot, Kampung Badak Kabupaten Lombok Timur
3. Desa Jorwaru, Kabupaten Lombok Timur
V.2.1. Hasil Pelaksanaan Kampung Sekuit Kabupaten Lombok Tengah
Pengolahan tambak garam di lahan kritis dengan media penyusun lempung
pasiran, dilakukan secara tradisional oleh rakyat. Tambak garam dapat
dipanen setiap 2-3 hari, ketebalan lapisan garam 2-5 cm, garam diambil di
atas dasar tanah, sesuai dengan metoda Maduris. Sehingga garam yang
dihasilkan bercampur tanah, bersifat higroskopis dan butiran garamnya kasar
dengan nilai kadar NaClnya rendah. Dalam kegiatan ini tidak dilakukan
pencucian, pencucian dilakukan oleh industri atau pabrik garam.

V. 2. 2. Hasil Pelaksanaan Desa Ijot, Kampung Badak Kabupaten Lombok
Timur Proses penggaraman di Desa Ijot memiliki pola yang sama dengan Kampung
Sekuit, hanya saja di lokasi ini dilakukan proses pencucian dengan cara
pembakaran dengan menggunakan sekam sehingga garam yang dihasilkan
memiliki kadar NaCl mencapai 95% dan ayak dikonsumsikan.
PROSES PEMBENTUKAN KRISTALISASI GARAM

V. 2. 3. Hasil Pelaksanaan Desa Jorwaru, Kabupaten Lombok Timur
Pembuatan garam rakyat pada umumnya di media penyusun lempung
pasiran dilakukan secara tradisional dengan menggunakan alat-alat yang
sederhana dan dikerjakan oleh kelompok-kelompok petani garam. Tambak
garam dapat dipanen setiap 2 hari, sehingga ketebalan lapisan hanya
mencapai 2-5 cm. Garam yang dihasilkan bercampur tanah dan banyak
mengandung air atau bersifat higroskopis. Dilokasi ini tidak dilakukan
pencucian, pencucian dikerjakan oleh pabrik atau industri garam yang
selanjutnya dilakukan proses iodisasi. Hasil Sosialisasi
Hasil Pelaksanaan Sosialisasi garam rakyat di Propinsi Nusa Tenggara Barat
diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas serta pendapatan
Petani garam rakyat di daerah Kabupaten Lombok Tengah dan Kabupaten
Lombok Timur melalui teknologi proses pembikinan garam.
V.3. Kabupaten Ngada Propinsi Nusa Tenggara Timur
Dalam kegiatan ini mengunjungi:
1. Desa Kaburea
2. Desa Waekokak I
3. Desa Waekokak II
V.3.1. Hasil Pelaksanaan Desa Kaburea
Pengolahan tambak garam di lahan kritis dengan media penyusun lempung
pasiran, dilakukan secara tradisional oleh rakyat. Tambak garam dapat
dipanen setiap 2-3 hari, ketebalan lapisan garam 2-5 cm, garam diambil di
atas dasar tanah, sesuai dengan metoda Maduris. Sehingga garam yang


PROSES PEMBENTUKAN KRISTALISASI GARAM

dihasilkan bercampur tanah, bersifat higroskopis dan butiran garamnya kasar
dengan nilai kadar NaClnya rendah di bawah standart SNI. Dalam kegiatan
ini tidak dilakukan pencucian, pencucian dilakukan oleh industri atau pabrik
garam.
V.3.2. Hasil Pelaksanaan Desa Waekokak I

Kondisi morfologis lapisan penyusun lempung pasiran. Luas areal 29,6 ha.
Kepemilikan lahan ini adalah lahan rakyat. Garam yang terbentuk disini
masih alami, belum diolah oleh rakyat. Lokasi tersebut sangat sesuai untuk
dijadikan lahan garam. Disamping itu pencapaian ke lokasi mudah.
PROSES PEMBENTUKAN KRISTALISASI GARAM
V.3.3. Hasil Pelaksanaan Desa Waekokak II
Lapisan penyusun lempung pasiran. Sekitar lokasi tambak garam merupakan
daerah perbukitan

Kondisi Di Lapangan
Lokasi ini mendapat bantuan dari Ikatan Koperasi Garam Indonesia, dana
bantuan sebesar 1 Milyar, yang diberikan pada tahun 2000. Sampai saat ini,
belum menghasilkan garam rakyat. Petani mengerjakan; saluran air laut,
waduk/bozeem I dengan kedalam 1 m untuk menampung air laut, dan
waduk/bozeem II untuk menghilangkan lumpur atau partikel pengotor.


Hasil Sosialisasi
Hasil Pelaksanaan Sosialisasi garam rakyat diharapkan dapat meningkatkan
kualitas dan kuantitas serta pendapatan Petani garam rakyat di daerah
Kabupaten Ngada Propinsi NTT melalui teknologi proses pembikinan garam.
V.4. Kabupaten Jeneponto Propinsi Sulawesi Selatan
Pengamatan lapangan dilakukan di Desa Punagaya Kecamatan Bangkala
Kabupaten Jeneponto
Hasil Pelaksanaan
Kabupaten Jeneponto dengan luas lahan penggaraman sebesar 554,55 ha.
Dengan jumlah unit usaha 1.118 dengan jumlah tenaga kerja 2.126 orang
mempunyai produksi 29.132,5 ton dengan nilai produksi sebesar Rp.
5.409.700.000 sesuai hasil pendataan tahun 2001. Sementara untuk Desa PROSES PEMBENTUKAN KRISTALISASI GARAM
Punagaya terdiri dari 140 unit usaha deng
dan luas areal 368.5 ha produksi 5.95
1.190.000.000,-. Umur panen dan mutu pro 3 hari sehingga keadaan ini menyebabkan produksi tidak mampu bersaing
dalam perebutan pasar di Pulau Jawa baik untuk kebutuhan industri garam
beryodium maupun untuk kebutuhan industri lainnya.
Hasil Sosialisasi
Dari pendampingan tersebut diatas diperoleh hasil sebagai berikut:
1) Semakin terbukanya wawasan petani akan manfaat peningkatan
mutu garam dalam produksi maupun dari aspek pemasaran.
2) Perhatian dan antusiasme petani/pengusaha cukup besar dan
dukungan pemerintah setempat cukup menunjang sehingga
upaya pendampingan kedepan masih sangat diharapkan baik
dari aspek teknologi prosessing maupun dari aspek pemasaran
hasil produksi.
3) Adanya tindak lanjut atas kondisi yang dialami petani/pengusaha
melalui kegiatan pendampingan masa datang atas kerjasama
pihak terkait diantaranya BRKP- DKP, UNHAS, PT. Garam Surabaya
dan Pemerintah Kab.Jeneponto.
VI. Kesimpulan dan Saran
Setelah mengadakan kunjungan ke lokasi-lokasi pembuatan garam di
Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi Nusa Tenggara
Timur, dan Provinsi Sulawesi Selatan maka dapat disimpulkan bahwa:
1) Proses pembuatan garam dilakukan selama 2 sampai 3 hari, dengan
ketebalan lap garam hanya mencampai 3- 5 cm sehingga garam
yang dihasilkan bercampur tanah, bersifat higroskopis atau
mengandung air dengan kadar NaCl di bawah SNI.
2) Dalam proses pembuatan garam alat-alat yang digunakan masih
bersifat tradisional dan dikerjakan secara kekeluargaan.
3) Harga penjualan hasil produksi garam rakyat belum ditentukan oleh PROSES PEMBENTUKAN KRISTALISASI GARAM 16
pemerintah sehingga menyulitkan petani dalam memberi harga, yang
mengakibatkan harga penjualan dikuasai oleh pengepul atau
tengkulak.
Saran
1. Penyusunan harga standarisasi garam rakyat oleh pemerintah.
Harga garam rakyat disesuaikan dengan kadar NaCl, sebagai ilustrasi;


Kelas NaCl Harga per gram
NaCl < 90% 250 NaCl 90-95% 500 NaCl > 97% 750
2. Diusulkan tambak garam percontohan di setiap kabupaten
3. Rencana terbentuknya Asosiasi Garam yang berfungsi untuk mengatur
regulasi dari pemberian modal, mengontrol kualitas garam rakyat, dan
penjualan garam rakyat, dll.
VII. Daftar Pustaka
Buku Panduan Pembuatan Garam Bermutu dicetak oleh Badan Riset
Kelautan dan Perikanan Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati