KOMPAS
Penelitian ilmiah
Alam Membuat Max Bangun Laboratoriun di Rumah
Lahir di daerah yang tandus, Sumba, Nusa Tenggara Timur, tidak membuat Maxentius Umbu Hina (39) menganggap bangsanya miskin. Ia justru melihat kekayaan alam Indonesia yang melimpah berpotensi membuat bangsa dan negara ini mandiri.
Max kurang mendapat dukungan keluarga untuk menjadi peneliti. Padahal, minat meneliti sudah muncul sejak ia duduk di kelas dua sekolah menengah atas (SMA).
Saat itu ia membuat mesin perontok padi. "Orang Sumba merontokkan padi dengan cara menginjak-injak padi ramai-ramai. Ongkosnya sangat mahal. Makanya saya buatkan mesin yang murah dan cepat kerjanya," kata Max.
Saat mesin dari kayu dan paku itu akan diikutsertakan dalam lomba penelitian yang diadakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), orangtuanya tidak setuju.
Keinginan anak pertama dari tiga bersaudara ini hampir terwujud saat ia dipanggil Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK). Sayang ia batal jadi mahasiswa karena telat mendaftar.
Dengan uang Rp 500.000, ia pulang ke rumah pamannya di Bandung dan kuliah di Teknologi Pangan, Universitas Bandung Raya. Uang yang dimilikinya sebetulnya masih kurang. Untung ia mendapat bantuan dari beberapa orang.
"Saat orientasi mahasiswa baru, saya tidak pernah membawa makanan karena tidak punya uang. Untung teman-teman banyak yang memberikan makanannya. Dari makanan pemberian itu, saya bisa bertahan.
Saat kuliah, Max mulai meneliti tentang enzim papaine dalam bir yang diaplikasikan pada virgin coconut oil (VCO). Ia meneliti selama setahun dan lulus dengan nilai baik tahun 1992.
Setelah lulus, Max sempat bekerja di perusahaan konsultasi hidrologi dan kehutanan, serta di berbagai asuransi. Saat bekerja di perusahaan asuransi, Max mulai menerapkan kesukaannya dalam bidang penelitian dengan menjadikan para peneliti di lembaga penelitian sebagai kliennya.
Untuk membantu kliennya membayar premi, Max menyarankan untuk mengumpulkan uap air dari pabrik pengalengan nanas. Uap tersebut bisa dijadikan air amidis dan dijual dengan harga lumayan mahal. Air amidis baik untuk kesehatan karena hanya mengandung 0,001 polutan. Salah satunya mengembalikan tekanan darah tinggi ke normal . Namun, bekerja sebagai pegawai asuransi membuat Max sering disepelekan oleh calon kliennya. "Tapi justru kondisi itu menguatkan mental saya," ujar Max.
Pekerjaan itu terpaksa ditinggalkannya karena ia mengalami sakit akibat pembuluh darah di daerah anus melebar. Seorang teman datang membawakan obat cair kombuja yang biasa dijadikan obat oleh orang China.
Jika didiamkan beberapa hari, cairan tersebut akan menghasilkan semacam daging yang terus membesar dan mengambang di dalam wadah. Setelah meminum cairan tersebut, ia pun sembuh.
"Tapi saya tertarik dengan cairan yang menumbuhkan semacam daging tersebut sehingga saya memperbanyak cairan tersebut dengan gula dan air, lalu dituangkan dalam beberapa wadah. Ternyata benda semacam daging tersebut cepat tumbuh di setiap wadah," tutur Max yang segera mencari literatur yang berhubungan dengan benda tersebut.
Laboratorium
Ia menduga, daging tersebut adalah polimer. Untuk membuktikannya, ia menyetrika selembar daging. Hasilnya, daging tersebut berubah bentuk seperti selembar plastik. Namun jika dibakar, sifatnya seperti kertas.
Ia mulai membuat laboratorium di rumahnya yang sempit di sebuah gang di kawasan Awiligar, Bandung Utara, untuk mengamati benda tersebut. Dalam meneliti, ia dibantu oleh istrinya Ena Harianti (37). Setahun lalu, ayah dua anak ini terpaksa memindahkan laboratoriumnya ke dalam gudang yang sempit karena anak bungsunya mulai belajar berjalan.
"Bagaimanapun kalau laboratorium ada di rumah, bisa terpaksa digusur demi kepentingan keluarga," ujarnya.
Beberapa zat yang berhubungan dengan polimer disimpan dalam beberapa wadah. Ia juga meneruskan penelitiannya dengan mengetes berbagai elemen dalam cairan tersebut. Hasilnya diketahui, cairan tersebut adalah selulosa yang bisa dimanfaatkan menjadi bahan bakar karena mengandung etanol yang tinggi, fiber, kertas untuk uang, dan lainnya.
Setelah itu, ia makin rajin meneliti. Beberapa hasil penelitiannya dipasarkan melalui internet. Harganya cukup murah. Salah satu produk yang dipasarkannya adalah zat pembersih limbah untuk pabrik. Ia menjualnya Rp 10.000 per liter.
Ia juga amat cekatan meneliti terutama ketika mendapat kabar bangsa ini memiliki masalah. Ia mencoba mengulik bahan alam untuk memecahkan masalah. Salah satunya meneliti tanaman untuk bahan bakar, asam amino dari santan untuk mengatasi busung lapar, meneliti getah pepaya untuk obat demam berdarah, dan lainnya.
Dari gang sempit di depan rumahnya, orang bisa melihat beberapa botol berisi minyak teronggok di setiap sudut halaman. Botol-botol tersebut berisi bahan bakar yang dihasilkannya dari berbagai tumbuhan.
"Ini minyak dari kemiri, sangat baik untuk dijadikan solar," kata Max sambil memperlihatkan minyak kemiri, lalu menyeruput teh yang menurutnya bisa mengikat virus . (Yenti Aprianti)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar